De ngan seluruh rasa yang ada, kutulis kisah ini hanya untukmu. Dengan kejenuhan terhadap kehidupan, kupandangi danau gelap dibawah cahaya bulan yang bersinar. Riak kecil dari tiap gelembung-gelembung kecil udara pernapasan makhluk hidup dalam air danau mengisi ruang kosong sudut sepi yang kurasakan.
Baru kusadari, betapa indah sinar purnama malam ini. Tak ingin kunikmati sendiri, kutarik ujung simpul sinar bulan yang terikat pada ujung akar bakau ditepi danau. Rasa hangat sedikit terasa disekujur tubuh. Kuraih botol kosong yang tak tepakai. Kugulung sulaman cahaya pada sekeliling botol tersebut. Sinarnya kian mengumpul pada satu titik, yaitu digenggaman tanganku. Merasa cukup silau dengan pancaran gelombang sinarnya, kugigit dipertengahannya. Satu ujung kubiarkan pada botol berkilau milikku. Ujung yang lainnya kulepas hingga berayun diudara melayang tanpa batas, hingga membuat seluruh penghuni disekitar danau terusik oleh ulahku.
Para penghuni air kini mulai mencari-cari penyebab yang membuat redup lingkungan kehidupan mereka. Sedangkan yang mendiami daerah daratan malah langsung tampak murka karena merasa telah ada yang mencuri sumber penerang mereka. Aku berakting pura-pura ikut panik. Padahal benda berharga yang dicari berada dalam jaket kulit yang kukenakan. Perlahan aku menjauh dari pusat keributan. Tanpa banyak bicara, aku menyingkir kepinggir hutan.
Ternyata, dampak dari perbuatanku sangat berpengaruh terhadap lingkungan sekitar danau. Hutan yang biasanya dapat kulewati dengan mudah, kini telah lebih gelap dari biasanya. Satu dua kali aku tersandung akar pohon. Apalagi ranting kering tajam, sudah tak terjangkau hitungan dalam ingatan telah berapa kali menggores tubuh. Sepenggal ungkapan membodohi diri sendiri terucap dalam hati. Kuteruskan dengan mengeluarkan botol berisi sinar Sang Luna dari dalam jaket hitam tebal milikku. Cahayanya merambah sekelilingku dalam radius beberapa meter, membuat diriku dengan jelas dapat menapaki jalan tujuanku.
Kini telah sampai ditepi jalan raya disebarang danau. Kumelangkah dengan tenang pulang kerumah. Tapi tampaknya, para penikmat hangatnya cahaya bulan tak bisa begitu saja melepaskan makhluk yang telah membawa pergi sebagian kehangatan milik mereka. Maka tak heran, sebagian dari mereka kini telah menghadang jurusanku. Pasti dari cahaya pada botol inilah yang telah menjadi sinyal alami dan memanggil mereka.
Terdiam sesaat, bukan terkejut. Hanya beberapa detik memeras otak. Berpikir cara aman untuk menghindar. Tak ingin menunggu lebih lama, akupun berlari kearah berlawanan. Merekapun segera bertindak. Dengan liar mengejarku dari belakang. Tapi, dari sekian banyak yang ingin menangkapku, hanya anjing dan srigala-lah yang terlihat membahayakan. Sedangkan sisanya seolah hanya sebagai pemeran pemain hiburan semata. Dengan cahaya digenggaman, kuterus menghindari kejaran kedua makhluk yang tercipta untuk memburu. Hampir tak ada jeda meski hanya untuk menoleh kebelakang. Aku hampir putus asa bila tak kutemukan cara aman menjauhi mereka. Tiba-tiba terlintas satu ide, kumasukkan botol bersinar milikku kembali kedalam jaket. Niatnya biar mereka tak bisa melihat target yang mereka kejar. Tapi, bukannya makin aman, malah kurasa hembusan hangat nafas beringas mereka kian dekat ditelinga. Lagi-lagi ocehan kebodohan kualamatkan kepadaku. Makhluk seperti mereka, 95 % penglihatannya berasal dari aroma sesuatu yang mereka buru. Jadi, meski Sang Surya benar-benar tenggelam diujung barat samudra, mereka paling hanya akan kehilangan kehangatan. Kembali kukeluarkan gulungan cahaya rembulan sebagai penunjuk jalan.
Sekarang aku mengarah kesebuah lorong gelap yang belum siap dibangun. Rencananya lorong ini akn menghubungkan seluruh negara didunia. Maka tak heran bila didalamnya seperti labirin yang sangat membingungkan. Kembali ide dadakan mencuat dari lekukan-lekukan sel disistem saraf pusat dalam otakku. Kutarik ujung cahaya bulan, dan kuulur sambil berlari hingga tercipta untaian tanda bersinar diatas tiap jalan yang kulalui. Kutetap pertahankan nafas yang kian kacau balau tak karuan. Kuberbelok ditiap tikungan yang ada. Entah berapa lama aku berlari. Cahaya bulan berbentuk benang inipun rasanya telah terpakai setengah sebagai kompas penunjuk jalan pulang nanti. Kini, sekitar beberapa ratus meter mulai terlihat ujung lorong hitam yang kulalui. Udara pengap yang sedari tadi hinggap, mulai sedikit beranjak dari perasaanku. Kuhirup nafas bebas dengan penuh oksigen segar, dan tentu saja gratis. Pandanganku langsung mencari jalan untuk tetap berlari menghindari Sang Srigala diikuti seekor Anjing hutan yang memburuku. Dihadapanku kini tergenang sebuah danau kecil yang tenang. Dengan cahaya benang sinar rembulan yang tetap kuulur, aku langsung saja terjun menyeberangi danau ketepian sisi berlawanannya.
Akhirnya Sang Srigala dan Anjing hutan tersebut tak mampu mencari sumber bau targetnya. Akupun boleh dikatakan selamat.
Kuputar jalan berlawanan arah jarum jam. Kumeniti tiap tepi titian danau mini ini, sambil kembali kugulung jalinan benang rembulan pada botol. Sambil tetap melangkah menuju garbang pulang.
Tiba dimulut lorong tempat pertama kali aku masuk, ternyata bentuk bulan sudah tak lagi bulat. Ujung cahaya yang telah kulepas rupanya tertiup angin dan terus menarik sinarnya. Kini Sang Bulan telah berubah menyerupai sabit, hilang sebagian kilaunya. Meski begitu, ia tetap indah. Malah makin menarik.
Tak ambil pusing, aku terus beranjak pulang. Setibanya dikamarku, langsung kuhidupkan komputer yang otomatis “conect to internet ’’. kujelajahi dunia maya dengan “search engine” andalanku, mencari informasi tentang alat tenun. Aku berniat menyulam benang bulan ini menjadi kain. 15 hari kuhabiskan untuk melihat, mempelajari, merakit alat tenun hingga selesai sepetak kain tenun yang bersinar khas cahaya bulan. Kupotong setengahnya sebentuk sapu tangan, lalu kutulis surat untukmu. Ya, inilah yang kukirimkan kepadamu wahai kasih. Dengan seluruh rasa sayangku kepadamu, kuberanikan diri membawa lari apa yang kini sangat dicari-cari.
Habis itu, akupun tak tahu mau kuapakan sisa tenunanku ini. Dalam jeruji kebingungan, kudengar sesuatu menghantam jendela kamarku. Langsung kudekati kaca dan kubuka jendela tersebut. Kilau yang serasa tak asing lagi bagiku tiba-tiba menyeruak masuk menembus sela-sela tubuhku. Ternyata, ujung benang berkilau milik Sang Bulan yang pernah kulepaskan kemarin telah mendatangiku, layaknya seseorang yang tengah meminta pertanggungjawaban seorang pelaku kejahatan. Kupandangi langit redup. Tampak satu wajah murung bulan yang kian kehilangan kharismanya. Terlintas sesal dan bersalah dalam benak didada. Kuraih ujung pintalan cahayanya. Ternyata, ia telah tersangkut ditepi raut mukanya yang runcing.
Seolah ada yang memanggil, aku menoleh kedalam kamar. Kain tenunanku seakan bersemangat bersinar dan menyilaukan. Segera kudekati meja tempat ia berada, kuraih kain tersebut dan kumasukkan kedalam saku bajuku. Kembali kudekati lubang jendela, kali ini aku keluar melewatinya. Kugenggam ujung tali sinar rembulan. Akupun mulai memanjat. Tak pasti berapa lama waktu yang telah kuhabiskan untuk menuju tempat Bulan berada. Yang aku ingat, hanya 15 kali Sang Surya telah muncul memberi semangat khas Timur dan tenggelam diantara bukit-bukit Barat.
Setibanya diatas sana, sejenak kulepas lelah dengan duduk dilengkungan tumpul dalam lingkar tubuhnya. Aku lalu mengeluarkan kain tenunan yang juga berasal dari tubuhnya. Aku berniat menambal lengkungan kosong pada dirinya. Dengan sedikit bantuan Ilahi, akhirnya aku sukses mengembalikannya kekondisi sedia kala. Mesk itak sama dan sesempurna dulu, sebelum sebagian dari dirinya kucuri. Paling tidak, aku telah merasa selesai menebus rasa bersalahku. Tak lama, akupun telah meluncur pulang kebumi.
Kini tak ada lagi yang akan dendam padaku, apalagi berniat menangkapku. Aku juga tak lagi merasa bersalah, setelah apa yang pernah kuperbuat. Dari bumi, bulan kembali bersinar penuh gairah. Bersemangat pancarkan cahaya hasil pantulan sinar Sang surya yang selalu setia berada diseberang khatulistiwa.
Ditiap 15 hari setelah kemunculannya yang samar-samar disebalik kabut awan, ia bahkan menampakkan tubuhnya yang elok dengan penuh kekuatan ajaib. Semoga kamu juga dapat lebih indah dengan sebagian serpihan dari dirinya.
Para penikmat cahayanya pun tak mengetahui bahwa secuil bagian darinya telah kupersembahkan kepadamu saat ini. Meski hanya sepotong, tapi ia tercipta atas untaian benang sinar rembulan terbaik sayangku. Lengkap dengan kilau keemasan dan kehangatan, serta tersulam bersama seluruh rasa kasihku kepadamu.
Maka janganlah kamu terkejut bila nanti suatu saat akan ada dongeng tentang seorang pemuda yang berhasil membawa lari sebahagian keindahan sang bulan, karena ia adalah aku. Atau nanti saat kamu mendengar desas-desus bahwa sinar bulan yang sekarang, sedikit redup jika dibandingkan pancarannya yang dahulu, karena sebagian kesempurnaannya kini telah berada padamu.
Tapi cintaku, kamu janganlah takut. Selama aku ada, aku akan selalu berusaha memendam misteri ini dalam-dalam. Aku percaya bahwa kamupun tak akan memperlihatkan sapu tangan tersebut dan membocorkan darimana asalnya kepada siapapun.
Hanya saja yang sedikit aku risaukan adalah, aku benar-benar lupa untuk memutuskan benang yang terjuntai milik sang bulan. Aku cemas, nanti suatu waktu ada seseorang yang menjumpainya. Terlebih bila ia memiliki sifat sepertiku. Ia pasti akan menempuh perjalanan panjang dan melelahkan untuk memanjat menuju bulan berada. Setibanya disana, aku yakin ia akan melepaskan kain tambalan yang kupasang untuk menutupi keroposnya sebagian tubuh bulan, untuk dipersembahkan kepada sang peri belahan jiwanya.
Sehingga, dimasa yang akan datang, takkan ada lagi yang dapat menikmati keindahan bulan purnama yang penuh pancarkan bias cahaya terangnya ditiap 15 hari kemunculannya. Bila saat itu tiba, anak cucu kita hanya akan bisa mendengar kisah yang menceritakan betapa luar biasanya bulan pada waktu dahulu.
Semoga kita dapat menutup rapat-rapat dam mempertahankan kisah ini. Serta tak lupa untuk terus berdo’a kepada sang penguasa semesta agar mengampuni semua perbuatanku dimasa kini.
Mlm’’24 Maret 2008