Selasa, 25 Agustus 2009

Sapu Tangan Rembulan

De

ngan seluruh rasa yang ada, kutulis kisah ini hanya untukmu. Dengan kejenuhan terhadap kehidupan, kupandangi danau gelap dibawah cahaya bulan yang bersinar. Riak kecil dari tiap gelembung-gelembung kecil udara pernapasan makhluk hidup dalam air danau mengisi ruang kosong sudut sepi yang kurasakan.


Baru kusadari, betapa indah sinar purnama malam ini. Tak ingin kunikmati sendiri, kutarik ujung simpul sinar bulan yang terikat pada ujung akar bakau ditepi danau. Rasa hangat sedikit terasa disekujur tubuh. Kuraih botol kosong yang tak tepakai. Kugulung sulaman cahaya pada sekeliling botol tersebut. Sinarnya kian mengumpul pada satu titik, yaitu digenggaman tanganku. Merasa cukup silau dengan pancaran gelombang sinarnya, kugigit dipertengahannya. Satu ujung kubiarkan pada botol berkilau milikku. Ujung yang lainnya kulepas hingga berayun diudara melayang tanpa batas, hingga membuat seluruh penghuni disekitar danau terusik oleh ulahku.


Para penghuni air kini mulai mencari-cari penyebab yang membuat redup lingkungan kehidupan mereka. Sedangkan yang mendiami daerah daratan malah langsung tampak murka karena merasa telah ada yang mencuri sumber penerang mereka. Aku berakting pura-pura ikut panik. Padahal benda berharga yang dicari berada dalam jaket kulit yang kukenakan. Perlahan aku menjauh dari pusat keributan. Tanpa banyak bicara, aku menyingkir kepinggir hutan.


Ternyata, dampak dari perbuatanku sangat berpengaruh terhadap lingkungan sekitar danau. Hutan yang biasanya dapat kulewati dengan mudah, kini telah lebih gelap dari biasanya. Satu dua kali aku tersandung akar pohon. Apalagi ranting kering tajam, sudah tak terjangkau hitungan dalam ingatan telah berapa kali menggores tubuh. Sepenggal ungkapan membodohi diri sendiri terucap dalam hati. Kuteruskan dengan mengeluarkan botol berisi sinar Sang Luna dari dalam jaket hitam tebal milikku. Cahayanya merambah sekelilingku dalam radius beberapa meter, membuat diriku dengan jelas dapat menapaki jalan tujuanku.


Kini telah sampai ditepi jalan raya disebarang danau. Kumelangkah dengan tenang pulang kerumah. Tapi tampaknya, para penikmat hangatnya cahaya bulan tak bisa begitu saja melepaskan makhluk yang telah membawa pergi sebagian kehangatan milik mereka. Maka tak heran, sebagian dari mereka kini telah menghadang jurusanku. Pasti dari cahaya pada botol inilah yang telah menjadi sinyal alami dan memanggil mereka.


Terdiam sesaat, bukan terkejut. Hanya beberapa detik memeras otak. Berpikir cara aman untuk menghindar. Tak ingin menunggu lebih lama, akupun berlari kearah berlawanan. Merekapun segera bertindak. Dengan liar mengejarku dari belakang. Tapi, dari sekian banyak yang ingin menangkapku, hanya anjing dan srigala-lah yang terlihat membahayakan. Sedangkan sisanya seolah hanya sebagai pemeran pemain hiburan semata. Dengan cahaya digenggaman, kuterus menghindari kejaran kedua makhluk yang tercipta untuk memburu. Hampir tak ada jeda meski hanya untuk menoleh kebelakang. Aku hampir putus asa bila tak kutemukan cara aman menjauhi mereka. Tiba-tiba terlintas satu ide, kumasukkan botol bersinar milikku kembali kedalam jaket. Niatnya biar mereka tak bisa melihat target yang mereka kejar. Tapi, bukannya makin aman, malah kurasa hembusan hangat nafas beringas mereka kian dekat ditelinga. Lagi-lagi ocehan kebodohan kualamatkan kepadaku. Makhluk seperti mereka, 95 % penglihatannya berasal dari aroma sesuatu yang mereka buru. Jadi, meski Sang Surya benar-benar tenggelam diujung barat samudra, mereka paling hanya akan kehilangan kehangatan. Kembali kukeluarkan gulungan cahaya rembulan sebagai penunjuk jalan.


Sekarang aku mengarah kesebuah lorong gelap yang belum siap dibangun. Rencananya lorong ini akn menghubungkan seluruh negara didunia. Maka tak heran bila didalamnya seperti labirin yang sangat membingungkan. Kembali ide dadakan mencuat dari lekukan-lekukan sel disistem saraf pusat dalam otakku. Kutarik ujung cahaya bulan, dan kuulur sambil berlari hingga tercipta untaian tanda bersinar diatas tiap jalan yang kulalui. Kutetap pertahankan nafas yang kian kacau balau tak karuan. Kuberbelok ditiap tikungan yang ada. Entah berapa lama aku berlari. Cahaya bulan berbentuk benang inipun rasanya telah terpakai setengah sebagai kompas penunjuk jalan pulang nanti. Kini, sekitar beberapa ratus meter mulai terlihat ujung lorong hitam yang kulalui. Udara pengap yang sedari tadi hinggap, mulai sedikit beranjak dari perasaanku. Kuhirup nafas bebas dengan penuh oksigen segar, dan tentu saja gratis. Pandanganku langsung mencari jalan untuk tetap berlari menghindari Sang Srigala diikuti seekor Anjing hutan yang memburuku. Dihadapanku kini tergenang sebuah danau kecil yang tenang. Dengan cahaya benang sinar rembulan yang tetap kuulur, aku langsung saja terjun menyeberangi danau ketepian sisi berlawanannya.


Akhirnya Sang Srigala dan Anjing hutan tersebut tak mampu mencari sumber bau targetnya. Akupun boleh dikatakan selamat.


Kuputar jalan berlawanan arah jarum jam. Kumeniti tiap tepi titian danau mini ini, sambil kembali kugulung jalinan benang rembulan pada botol. Sambil tetap melangkah menuju garbang pulang.


Tiba dimulut lorong tempat pertama kali aku masuk, ternyata bentuk bulan sudah tak lagi bulat. Ujung cahaya yang telah kulepas rupanya tertiup angin dan terus menarik sinarnya. Kini Sang Bulan telah berubah menyerupai sabit, hilang sebagian kilaunya. Meski begitu, ia tetap indah. Malah makin menarik.


Tak ambil pusing, aku terus beranjak pulang. Setibanya dikamarku, langsung kuhidupkan komputer yang otomatis “conect to internet ’’. kujelajahi dunia maya dengan “search engine” andalanku, mencari informasi tentang alat tenun. Aku berniat menyulam benang bulan ini menjadi kain. 15 hari kuhabiskan untuk melihat, mempelajari, merakit alat tenun hingga selesai sepetak kain tenun yang bersinar khas cahaya bulan. Kupotong setengahnya sebentuk sapu tangan, lalu kutulis surat untukmu. Ya, inilah yang kukirimkan kepadamu wahai kasih. Dengan seluruh rasa sayangku kepadamu, kuberanikan diri membawa lari apa yang kini sangat dicari-cari.


Habis itu, akupun tak tahu mau kuapakan sisa tenunanku ini. Dalam jeruji kebingungan, kudengar sesuatu menghantam jendela kamarku. Langsung kudekati kaca dan kubuka jendela tersebut. Kilau yang serasa tak asing lagi bagiku tiba-tiba menyeruak masuk menembus sela-sela tubuhku. Ternyata, ujung benang berkilau milik Sang Bulan yang pernah kulepaskan kemarin telah mendatangiku, layaknya seseorang yang tengah meminta pertanggungjawaban seorang pelaku kejahatan. Kupandangi langit redup. Tampak satu wajah murung bulan yang kian kehilangan kharismanya. Terlintas sesal dan bersalah dalam benak didada. Kuraih ujung pintalan cahayanya. Ternyata, ia telah tersangkut ditepi raut mukanya yang runcing.


Seolah ada yang memanggil, aku menoleh kedalam kamar. Kain tenunanku seakan bersemangat bersinar dan menyilaukan. Segera kudekati meja tempat ia berada, kuraih kain tersebut dan kumasukkan kedalam saku bajuku. Kembali kudekati lubang jendela, kali ini aku keluar melewatinya. Kugenggam ujung tali sinar rembulan. Akupun mulai memanjat. Tak pasti berapa lama waktu yang telah kuhabiskan untuk menuju tempat Bulan berada. Yang aku ingat, hanya 15 kali Sang Surya telah muncul memberi semangat khas Timur dan tenggelam diantara bukit-bukit Barat.


Setibanya diatas sana, sejenak kulepas lelah dengan duduk dilengkungan tumpul dalam lingkar tubuhnya. Aku lalu mengeluarkan kain tenunan yang juga berasal dari tubuhnya. Aku berniat menambal lengkungan kosong pada dirinya. Dengan sedikit bantuan Ilahi, akhirnya aku sukses mengembalikannya kekondisi sedia kala. Mesk itak sama dan sesempurna dulu, sebelum sebagian dari dirinya kucuri. Paling tidak, aku telah merasa selesai menebus rasa bersalahku. Tak lama, akupun telah meluncur pulang kebumi.


Kini tak ada lagi yang akan dendam padaku, apalagi berniat menangkapku. Aku juga tak lagi merasa bersalah, setelah apa yang pernah kuperbuat. Dari bumi, bulan kembali bersinar penuh gairah. Bersemangat pancarkan cahaya hasil pantulan sinar Sang surya yang selalu setia berada diseberang khatulistiwa.


Ditiap 15 hari setelah kemunculannya yang samar-samar disebalik kabut awan, ia bahkan menampakkan tubuhnya yang elok dengan penuh kekuatan ajaib. Semoga kamu juga dapat lebih indah dengan sebagian serpihan dari dirinya.


Para penikmat cahayanya pun tak mengetahui bahwa secuil bagian darinya telah kupersembahkan kepadamu saat ini. Meski hanya sepotong, tapi ia tercipta atas untaian benang sinar rembulan terbaik sayangku. Lengkap dengan kilau keemasan dan kehangatan, serta tersulam bersama seluruh rasa kasihku kepadamu.


Maka janganlah kamu terkejut bila nanti suatu saat akan ada dongeng tentang seorang pemuda yang berhasil membawa lari sebahagian keindahan sang bulan, karena ia adalah aku. Atau nanti saat kamu mendengar desas-desus bahwa sinar bulan yang sekarang, sedikit redup jika dibandingkan pancarannya yang dahulu, karena sebagian kesempurnaannya kini telah berada padamu.


Tapi cintaku, kamu janganlah takut. Selama aku ada, aku akan selalu berusaha memendam misteri ini dalam-dalam. Aku percaya bahwa kamupun tak akan memperlihatkan sapu tangan tersebut dan membocorkan darimana asalnya kepada siapapun.


Hanya saja yang sedikit aku risaukan adalah, aku benar-benar lupa untuk memutuskan benang yang terjuntai milik sang bulan. Aku cemas, nanti suatu waktu ada seseorang yang menjumpainya. Terlebih bila ia memiliki sifat sepertiku. Ia pasti akan menempuh perjalanan panjang dan melelahkan untuk memanjat menuju bulan berada. Setibanya disana, aku yakin ia akan melepaskan kain tambalan yang kupasang untuk menutupi keroposnya sebagian tubuh bulan, untuk dipersembahkan kepada sang peri belahan jiwanya.


Sehingga, dimasa yang akan datang, takkan ada lagi yang dapat menikmati keindahan bulan purnama yang penuh pancarkan bias cahaya terangnya ditiap 15 hari kemunculannya. Bila saat itu tiba, anak cucu kita hanya akan bisa mendengar kisah yang menceritakan betapa luar biasanya bulan pada waktu dahulu.


Semoga kita dapat menutup rapat-rapat dam mempertahankan kisah ini. Serta tak lupa untuk terus berdo’a kepada sang penguasa semesta agar mengampuni semua perbuatanku dimasa kini.


Mlm’’24 Maret 2008

Dream Walker

Sa

yup getar embun meluncur cepat membelah tumpukan semak liar belukar. Kesadaranku kembali perkuat kelopak mata agar tetap selalu siap siaga terjaga. Sadar bahwa diri ini tak ingin melepaskan mimpi yang tadi sempat hampir tak berhenti, kembali kudekati lubang pusaran imaji.


Kuat ia menghisap tubuh ini, menghipnotis jiwa yang terlepas, aku terlelap lagi.


Kini aku telah ada dihamparan hijau permadani rumput alami. Kupandangi elok tiap lekuk indah tubuhmu, gemulai magis sudut-sudut tumpul pada dirimu.


Mentari jingga muncul dikedua tajam sorotan matamu, hangatkan jiwa yang hampir terlupakan.


Rona merah pipimu, warnai ruang-ruang hampa yang tak lagi bernyawa dalam rongga-rongga dada.


Puncak bukit hidungmu menakjubkan, seolah menekuk semua angan-angan yang tak ingin terhalangi.


Cekungan lembah surgawi, seakan gambaran dagumu yang mampu menopang senyum para peri-peri putri bidadari surgawi yang sedari tadi bercanda dengan dirimu.


Alunan tawa mereka merupakan refleksi nada-nada tinggi melodi kawasan firdaus. Ucapanmu kini malah semakin mengiringi harpa, menjadi rithym abadi disepenjuru sisi.


Lagi-lagi aku terbuai, tak mampu menggerakkan kata-kata untuk melampiaskan semua rasa kagum yang tak lagi mampu terbendung. Sekarang, aku benar-benar memutuskan berhenti, bersumpah menepi disini, setelah sekian lama aku menjadi musafir mimpi.


Sr”31 jan’2008

Taman Makam Kota

Bi

asanya weker yang menggugahku dari tidur, tapi entah kenapa subuh ini tepat pukul empat aku terjaga. Aku duduk dibibir ranjang kusut tak karuan, aku lalu berdiri menjulurkan tangan kanan keatas meraih tali lampu mengganti nyala bohlam dengan neon 15 watt. Silau memang, tapi aku senang kar’na membantuku membunuh kantuk yang masih bergelayutan dikelopak mata. 20 menit lewat begitu saja, setelah benar-benar sadar, akupun keluar kekamar mandi. Dinginnya air menyegarkan tubuh dan jiwaku. Aku kembali kekamar, menutup pintu dan berniat melakukan pemanasan sebelum berolah raga. Pemanasanku terhenti saat alunan adzan subuh menembus masuk ketelingaku. Selesai sholat, aku bersiap untuk lari pagi mengitari jalan raya didekat rumahku. Tepat 05.25 aku keluar rumah, kuhirup udara yang berhembus membawa embun lembut yang sedikit terasa lembab. Kubuka pintu gerbang dan mulai lari-lari kecil menyusuri lajur jalan yang lurus kedepan.


Beberapa menit kulalui dengan cahaya temaram dari lampu-lampu teras rumah ditepi jalan. Mulai dari kompleks perumahan, kemudian sebuah sekolah dan disusul simpang tiga yang telah tampak di kejauhan. Aku memutuskan ‘tuk kekiri. Kulewati gereja dan masjid yang berjarak kurang dari puluhan meter. Aku langsung bersyukur kar’na didaerahku ini masih aman dari perang antar agama yang sering kulihat di tv. Nafasku kini mulai berantakan, kuperlambat lariku namun berusaha agar tak berhenti. Kuatur lagi nafasku dengan cara dua langkah ber-inspirasi, dan dua langkah ber-ekspirasi.


Kini aku melawati deretan ruko-ruko baru dibangun yang dihalamannya berkumpul para remaja duduk menikmati puing-puing waktu malam minggu semalam yang sayang ‘tuk dibuang. Lalu sebuah pom bensin disisi kananku_ yang seingatku biasanya dijaga sepasang anjing. Kupercepat lariku. Tapi ini bukan kar’na anjing, tapi ……-sebenarnya aku tak mau bilang, namun sebaiknya kalian harus tahu bahwa tepat dimuka pom bensin tersebut terdapat tempat pemakaman umum, mulai dari kuburan_ ups, aku kelepasan kata yang sebetulnya ‘tak ingin aku katakan. Tapi…… ya sudahlah, toh sudah terlanjur keluar.


Kembali kecerita kita, mulai dari kuburan Cina, Kristen, dan Islam ada disitu_ berbeda blok tentunya. Dikarenakan medannya agak sedikit menanjak, maka meskipun lariku kupercepat,tetap saja terasa lamban.


Kini aku mulai mendekati persimpangan. Pandanganku seolah terhipnotis oleh lampu penghias jalan yang tegak berdiri disisi kiri jalur jalanku. Tanpa sadar tiba-tiba dihadapanku seorang wanita muda tampak kesakitan terduduk ditepi jalan. Ia mengenakan kaos merah pudar dan mengenakan celana yang sangat kontras dengan warna sepatu miliknya.

Tanpa bertanya, kuangkat tubuhnya dan kududukkan dibibir bangku batu disebuah taman kota yang ada persis didekat lokasi tersebut.


“kenapa?,terkilir?,sakit?, enggak apa-apakan?“ tanyaku yang kebanyakan dijawab olehnya dengan gelengan kepala.


Selang beberapa saat, kami berdua malah jogging seolah melanjutkan perjalananku yang sempat sesaat tadi terhenti. Tak banyak kata yang terlontar diantara kami, malah bisa dibilang ‘tak ada. Ia tampaknya lebih senang memandang kedepan, sementara aku sendiri sesekali mencuri pandang ke wajahnya yang lumayan cantik.


Rasanya selama lari dengannya sedikitpun aku tidak merasa lelah, malah setiap langkah seolah membuatku semakin bergairah untuk terus tetap berlari.


Langkahku mulai berhenti saat ia menuju kearah jalan kecil yang belum beraspal. Aku saat itu hanya diam terpana disudut jalan menatap wanita tersebut berjalan lambat di kegelapan dan seolah samara-samar menghilang dari pandangan.

Aku sangat terkejut ketika sebuah tepukan lembut di punggung menyadarkanku. Aku tak kenal siapa dia. Merasa hanya perbuatan iseng dari sesama penikmat udara pagi, akupun bergegas pulang.


Sampai dirumah, kuraih Koran pagi yang tergeletak diatas meja tamanku. Halaman pertama terpampang gambar yang menurutku sesosok mayat dengan posisi tergeletek tidak wajar. Dibawah gambar tersebut tertulis :


“Ditemukan, seorang gadis diduga korban tabrak lari di persimpangan jalan didepan taman kota. Korban mengenakan kaos putih yang telah banyak berlumuran darah”

Sampai disitu aku tidak ingat apa-apa lagi_ yang aku tahu aku sudah terbaring ditempat tidur dengan tubuh menggigil.Tapi ada satu hal yang baru aku ingat. Ternyata, jalan dimana aku berpisah dengan wanita misterius tersebut adalah jalan pintas menuju kekawasan pemakaman umum. Menurutku mungkin ia kebingungan dalam mencari jalan menuju

Ego

Ku

paksa tubuh ini ‘tuk bergerak,meski dengan keadaan setengah sadar. Entah jam berapa sekarang, yang pasti tempat jalanku terasa gelap. Sekarang aku hanya ingin pulang kerumah, tapi bukan ‘tuk makan_meski aku lapar, juga bukan ‘tuk minum_meski tenggorokanku kering. Aku hanya ingin tidur. Tidur melupakan segala permasalahan yang menghinggapiku seperti lalat-lalat kotor sedang menggerayangi sampah.


Aku masih berjalan perlahan meski gontai. Tadi aku hampir menabrak pohon, barusan aku juga nyaris tersungkur setelah tersandung batu.


Sebenarnya aku ingin menjalani hidupku seperti hari-hari sebelum aku merasa muak dengan hidupku yang sekarang. Aku seolah ‘tak punya ayah_setelah ia sering memukuliku hanya kar’na dimatanya aku salah. Aku juga merasa tak ber-ibu, sejak ia_wanita yang satu-satunya ada bersamaku mulai jarang ada dirumah. Pergi selepas maghrib dan pulang entah jam berapa.


Aku akhirnya sering melahap habis waktuku dengan teman-teman yang sebaya dan senasib denganku. Aku juga mulai belajar menyulut rokok diantara jemariku. Aku masih sangat ingat saat pertama kali menghirup asap tembakau, aku terbatuk-batuk. Batuk yang sangat berat dan sangat sakit, namun tetap kutelan asap tersebut. Menurutku rasa sakit yang dirasa tubuhku malah dapat meredam kesakitan dan amarah yang bergejolak didalam jiwaku.


Sejak saat itu akupun semakin terjerumus dalam sumur narkoba dan alkohol. Aku hanya punya teman yang dekat denganku hanya bila aku sedang punya uang. Itupun pasti setelah kujual barang-barang berharga milikku. Setelah puas menikmati barang haram tersebut, merekapun lantas perlahan beranjak meninggalkanku satu persatu. Akupun hanya bisa meraba-raba kegelapan malam menuju rumah.


Akupun kini mulai tak dapat mengendalikan pikiranku, aku merasa terbang, melayang, mendekap rumput-rumput hujau yang rimbun dan tumbuh subur dengan liarnya ditepi jalan dibibir semak-semak_setelah sesaat tadi nyaris seolah malaikat maut dengan cahayanya melaju menyerempet tubuhku kar’na meniti lunglai keluar ketengah jalan.


Sekali lagi kunikmati sisa waktu malam yang tak lagi panjang bagiku dengan ditemani gejolak hembusan nafas dan diiringi tarikan otot-otot diafragma tubuhku serta ditemani titik-titik embun menjelang fajar baru yang bagiku sama seperti fajar-fajar terdahulu.

Chominga

Ha

ri ini adalah hari senin, hari pertama aku masuk sekolah dan mungkin merupakan hari paling berkesan seumur hidupku. Dimulai dengan adegan kesiangan, hingga tak sempat mandi apalagi sarapan. Kuberlari disepanjang tepi trotoar dengan rambut acak-acakan dan pakaian yang tak karuan_beruntung aku sempat pakai sepatu beserta kaus kaki putihnya. Sang langit seolah mendung cemberut menatapku hingga suasana gelap yang dominan menyelimuti pagi ini.


Karena aku orang yang baru pindah dikota ini, akupun tak menghiraukan papan tulisan ‘’Awas Anjing Galak’’ menghadang ditepi jalan. Aku terus berlari menuju sekolahku yang berada 100 meter didepan hidung. Kini tinggal 80, 60, 30 meter. Namun, dilangkah yang menghantarkanku kebelasan meter kearah tujuanku, kurasakan sesuatu terinjak olehku. Lembut, lunak, berbulu serta mengeluarkan suara yang sangat tak ingin kudengar. Kini ketika Sang Herder menggeram dan menutup jalanku, aku berbalik dan berlari sprint ala guru olahraga.


100m, 200m, 300m, masih dapat kuatasi kecepatan Sang Herder tersebut. Tapi kemudian kupanjat tiang telepon disisi kiri jalan untuk menghindari rahang keras dislimuti air liur menetes menjijikkan yang seolah dengan liar mengincar bagian terbelah dibelakangku. Sudah dapat dipastikan aku telat hari ini.


Setelah Sang Herder tampaknya bosan denganku yang bermain curang, iapun meninggalkuan tubuhku menempel ditiang. Merasa situasi aman terkendali, dengan waspada kuberanjak merosot turun. Tapi tampaknya Sang Herder telah memasang jebakan paling kurang ajar. Sebuah kotoran besar teronggok berwarna hijau tua telah terinjak olehku. Menempel dikedua sepatuku, belepotan dan sangat menjijikkan. Yaiks… rasanya ingin kuberlari, bukan karna malu, tapi ingin segera mencari WC terdekat, membungkus kotoran yang bau untuk kumasukkan kemulut anjing tersebut. Biar tau dia rasanya kotoran manusia.


Yah, biarlah. Toh semuanya telah terjadi. Yang penting segera mencari air. Sesaat aku terpana dengan sebuah parit lebar dengan air yang lumayan bersih. Pucuk dicinta, ulampun tiba. Kudekati genangan air tersebut, kujulurkan kaki kiriku sambil menggoyang-goyang tapak sepatuku biar bersih. Tiba-tiba, bagai petir disiang bolong, menyambar tepat dibelakang bokong, aku diserempet pedagang bakso kaki 5__3 kaki punya gerobak, 2nya lagi punya yang jual. Ia menyerempet dan membuatku menenggelamkan kaki hingga ke paha. Refleks kupanjat parit tersebut. Kucari pedagang sialan tadi. Tampaknya ia sudah lari tunggang langgang kaya’ jaelangkung_datang tak dijemput, pulang tak diantar. Kali ini aku benar-benar berlari, biar cepet nyampe dirumah. Tapi ternyata penderitaanku ternyata belum berkesudahan. Pas melewati perkampungan, aku melintasi sekumpulan anak-anak sedang bermain dilapangan coklat tak berumput. Seperti digerakkan sesuatu, seluruh anak-anak itu langsung berlari mengejar dan mendekatiku. Pertama kupikir, mereka jarang ngeliat abang ganteng.


Namun ke-ge-er-an ku sirna bila kudengar sayup-sayup teriakan


“orang-gila…orang-gila…!” Busyet, aku disangkain orang gila ama anak-anak kecil.


“Woi..brisik!!” aku berbalik sambil membentak. Eh, bukannya diem, anak-anak tersebut malah makin kenceng teriakannya. Apalagi anak yang badannya subur.


“N’dut, gue tiup perut loe biar meledak, baru tau rasa ya!!” gertakku


“Emang perut gue ban, bisa meledak?!” Ketusnya sambil tetep diiringi kor bareng teriakan temen-temennya.


Merasa ng’gak mempan ama cara kasar, kali ini kucoba cara yang lebih lunak.


“Eh, kakak bukan orang gila. Kakak cuman mau numpang lewat aja kok” kali ini bocah kerempeng yang menyahut.


“Kalo ng’gak gila, trus ngapain kakak main air selokan?!!”

Emosiku langsung meledak kaya’ bom atom.


“Apa loe bilang?!!” Kataku sambil mengangkat bocah keong tersebut dan menggoncang-goncangkannya diudara.


“K..K…Kakak, anjing gila!! Eh… kakak gila babi!! M..Maksud saya kakak ng’gak beneran gila kok, cuman gila boongan” Katanya dengan wajah tanpa dosa.


Kuturunkan bocah kurus tersebut, lalu kujewer telinganya hingga menjerit kesakitan. Merasa cukup puas, kutinggalkan anak itu yang kini menangis. Tanpa kusadari, seorang pria keluar dari salah satu rumah sambil memamerkan dadanya yang berbulu lebat. Akupun kembali melanjutkan marathon yang sempat tadi terhenti. Bukan karena dadanya yang berbulu, namun karena parang berkilat diujungnya yang menandakan ketajamannya yang ia pamerkan kepadaku.


Selamat aku berhasil lolos dari maut, untung udah lumayan jauh aku berjalan baru tuh orang mengejar. Kalo ng’gak, aku tadi bisa jadi tokoh utama tragedi berjudul “peristiwa berdarah siswa SMA karna parang dan bulu dada”


Dengan celana basah dan bau serta ditemani butiran-butiran keringat diseluruh tubuh, kulanjutkan ekspedisi pulang kerumah. Merasa kesialan terus yang sedari tadi mencumbuiku, akupun makin waspada. Tekadku yang ingin Back To Home pun makin membulat. Takkan melonjong ataupun mengempis meski badai meniup maupun menggencet sekalipun.

Namun baru beberapa meter aku melangkah, kulihat gadis manis yang kerepotan karna kantong plastik belanjaannya sobek. Otomatis isinyapun berhamburan jatuh diatas trotoar. Sejenak niatku tergoyahkan.


“Ah, ada jutaan orang dijalur trotoar ini kok. Masa’ gak ada orang yang mau tulungin tuh cewek” Bisik rohku.


Dengan wajah cuek_secuek-cueknya, kulewqati gadis tersebut tanpa menoleh secuilpun. Saat itu aku ngerasa bangga banget ama diri sendiri, karna sebagai lelaki, ngejaga komitmen itu sangatlah sulit. Gak semua cowok bisa!!!


Sedetik kemudian aku baru ngerasa, ternyata ada lebih dari jutaan orang yang ada disitu. Pasalnya, waktu aku bicara pada diri sendiri, ternyata didepan keningku telah ada tiang lampu jalan yang berdiri tegak menghadang. Kontan suara benturan keras jidatkupun mengaung perih diikuti oleh paduan suara yang kuyakin antara milyaran hingga trilyunan orang kini sedang menertawakanku.


Tiga kali, nyut, nyut, nyut dikepalaku langsung membutku berdiri dan seketika berlari kesetenan. Mungkin setan tercepat sekalipun dapat kupecundangi saat itu. Mulai dari sepeda, motor, bajaj, minibus, taxi, hingga bus tingkat dua kupotong tanpa perlawanan.


Hanya mata merah menyala bundar ditemani dua mata lainnya menjadi saksi saat itu ketika aku menyeberangi zebracross untuk berpindah jalur jalan melewati persimpangan.


“Tuh tiang ngapaen lagi pake nongol didepan jidat gue?!!” Kumulai sumpah serapah 13 yang kupersembahkan pada tiang terkutuk tadi.


Sekarang langkahku mulai sedikit nyaman, diikuti bayangan coklat tubuhku yang seolah terpanggang oleh panasnya sorotan mata Sang pusat bodongnya tatasurya. Aku tak ambil pusing lagi dengan situasai sekeliling. Aku juga makin kehilangan konsentrasi disebabkan dehidrasi. Untung cuman cairan yang menguap, kalo ng’gak aku pasti udah ikutan melayang mengambang diudara kar’na kehilangan massa jenis tubuhku.


Pelan-pelan aku melihat sebuah tas terduduk ditepi jalan disamping 2 buah tong sampah gemuk. Ku_kucek-kucek kedua mataku yang seolah berkabut “Emang tas kok itu” Kataku dalam hati meyakinkan diri sendiri. Seperti dituntun bidadari pengisi surga, akupun meraih tas tersebut dan berniat mengantarkannya ke pos penjagaan yang ada didepan, dekat persimpangan ini. Lagi-;agi keapesanku mulai kumat, ternyata ini tas punya-nya Tong Sampah, tapi aku salah liat. Sebenernya itu tong sampah adalah ibu-ibu gemuk berbaju seksi sedang duduk mengikat tali sepatu miliknya. Kontan ia tereak-tereak


“RAMPOK!!!” Sambil menunjuk kearahku. Semua makhluk kota, mulai dari semut ampe kakek-kakek puyn pasti pasang wajah beringas bila mendengar kata tersebut. Merasa terancam bahaya yang paling berbahaya dihari ini, akupun cepat-cepat berlari. Niatnya sih ke pos penjagaan. Namun aku udah keburu kesandung lubangnya mulut jalanan yang memamerkan keompongannya. Akupun berguling kedepan, nungging, nuncep, nangkring sebentar dipinggir got buat ambil oksigen, trus meluncur kesisi tembok, nemplok kaya’ telor ceplok dan terlenteng pingsan sambil tiduran.


Entah apa yang kemudian terjadi, mungkin aku digebukin ampe ¼ mati, lalu dibakar ampe ½ mateng, trus dibagiin kaya’ daging kurban ama kucing-kucing liar. Atau mungkin aku ditelanjangin lalu diarak keliling pasar sambil diiringin musik tradisional kaya’ anak sunatan. Tapi kalo sunat “itu” nya yang dipotong, kalo aku udah pasti nih leher yang bakalan digorok ampe putus.


Bahkan mungkin yang paling ekstrim dan tak ingin aku bayangin adalah aku akan dikelitikin ampe mampus-pus-pus meong, oleh warga sekampung. Bayangin aja sengsaranya digelitikin ampe ko’it, makan waktu berapa lama tuh?

Tapi waktu aku buka mata, yang ku lihat banyak asap putih, aku lalu duduk. Pengen banget rasanya aku tereak ketakutan. Soalnya aku sekarang ada dalam ruangan sempit dengan tembok di tiga sisinya dan sebuah terali besi disisi lainnya yang didalemnya berisi pria-pria kekar bertato tak berbaju sedang menghisap rokok. Aku kira mereka adalah para malaikat-malaikat neraka yang agak gaul yang akan menyiksaku, tak taunya aku ada didalam sel tahanan kepolisian karena dituduh mengambil tas orang lain dan akan menjalani pemeriksaan beberapa hari.


”Hei cacing…Cepat kau pijat badanku!!!” Bentak seorang tahanan yang berkumis batak, maksudku logatnya.


“I…iya bang” Jawabku takut.


“Cepat ya, abis itu aku !!!” Sahut temennya.


Huhuhu…ingin rasanya nangis sambil pipis dicelana, soalnya WC disini bau. Belon lagi jatah makanannya yang ng’gak berprikemanusiaan, hanya masuk ketegori berpri-kelaperan. Jadi kalo laper banget, kepaksa deh baru aku makan.

Selama sehari, kulewati jadi tukang pijit orang-orang yang ada disitu, udah kaya’ pembantu disuruh inilah itulah. Baru pas sorenya aku dinyatakan tak bersalah kar’na terbukti tak sengaja mengambil tas dan ibu tersebut juga udah memaafkanku dan mencabut laporannya.

Akhirnya aku keluar dari kantor polisi dengan mata merah lebam kurang tidur, lemah kurang makan, letih kecapean, lesu kurang gizi, lunglai kaya’ tauge direbus, dan loyo tak bersemangat. Semoga kali ini aku bisa selamat sampe kerumah. Do’ain aku ya?!! Please….:-)

29 juli 2007






Coretan Masa

Sabtu sore kumatikan HP, bukan lowbat ataupun rusak, hanya malas melayan cowokku yang bernama Dira. Wanita manasih yang gak jengkel kalo udah hampir 1 bulan tak pernah dapat kabar dari pacarnya?

yaudah, berarti kita jalan masing-masing aja…” kataku dalam hati

Eh, tak taunya tiba-tiba dia nelpon. Langsung marah-marah dengan alasan aku gak ngasih tau nomerku yang baru. Padahal udah 13 kali aku telponin dan udah gak keitung lagi sms dariku yang isinya “In no.Q yg baru, Wia”

Makin bulat aja nih tekad menjauh darinya. Sambil baring-baring dikamar, tak ada pikiran sedikitpun buat ngedenger suaranya. Akupun meraih buku pelajaranku. Bahasa Inggris, WIA DERASINDY, stempel yang melekat diwajah petaknya.

Dari luar pintu, merambat suara ketukan perlahan.

“Wia, ada Dira tuh diluar…” nada lembut ibuku memanggil

“Iya Bu, biarin aja. Ntar…” jawabku yang memang tak berniat buat nemuin dia.

Kupandangi langit-langit kamarku, membentuk persegi kecil. Semakin ciut dan melemparku jauh dalam urat-urat ingatanku

Kini aku berada dalam ruang kelas 1 SMP tempatku dulu bersekolah, tepat ditengahnya aku terpasak. Tiba-tiba beberapa siswi berjalan menembus jasadku. Tak terasa apa-apa, hanya udara sesaat dingin menerpaku.

Satu perasaan aneh menyerang kedua mataku, kar’na secara langsung aku melihat diriku yang tak lebih dari 13 tahun waktu itu sedang duduk bercengkrama dengan seorang cowok yang seingatku adalah David. Aku berputar mensortir sekeliling, kucari sesuatu yang hilang. Satu adegan yang memang semestinya ada. Tepat disudut kidal belakang, kutemui aktor tersebut sedang memandang aku waktu itu menembus perutku yang kuyakin terlihat transparan olehnya. Aroma jealous menyeruak darinya.

Untung dentang bel mampu menangkal barah spiritual miliknya, membuat David keluar dari area bidikan Dira karena berbeda kelas.

Kulalap 2,5 jam menikmati asupan ilmu dari guru matematika-ku waktu itu. Mungkin hanya aku sendiri yang terlihat antusias melahapnya. Tak terasa istirahat tiba. Hanya ada 2 sosok yang benar-benar tak beranjak dari bangku masing-masing. Mereka adalah aku waktu itu dan Dira.

Tak berapa lama, sunyi memerangkap kami bertiga. Dira menggeser kursinya dan berjalan kearah aku yang disana. Aku sendiri tersenyum lucu memandang diriku waktu itu mengemasi buku-buku yang tak seharusnya kukemas.

“Wi…,” sapa Dira

Aku terdiam, seakan aku terhirup dalam adegan tersebut, kutatap matanya tanpa jeda.

“Aku gak suka kamu terlalu dekat ama David” ujarnya lagi

”Kenapa? Cemburu…?!” Bentakku.

“Kalo iya??!!” Balasnya lebih tajam

“Emang kamu masih sayang ama aku?”

“Apa kamu perlu bukti?” Ia melawan

“Silakan, aku mau liat….” Tantangku

Tanpa menjawab ia beranjak. Akupun menuju kantin untuk makan siang. Udara benar-benar panas, cukup terinfeksi perasaanku hingga membuat 4 gelas air kemasan kosong kutenggak. Habis itu aku duduk ditaman depan kelas sambil mendengar air kolam yang mengalir disitu. Rasanya pikiranku tenang, ini tempat faforitku memang.

Kembali aku melayang menembus dimensi dan masa, kini aku telah berdiri dilorong sekolahku. Aku juga melihat diriku waktu itu sedang ngobrol dengan David didepan kelasnya. Alih-alih banyak siswa berlari bergerombol terburu-buru.

“Ada ap sih ?” Tanyaku pada Febri teman sekelasku.

“Katanya ada siswa yang naik kebukit belakang sekolah…” jawabnya dengan perasaan cemas. Memang disekolahku terdapat sebuah bukit yang lumayan tinggi dibelakangnya, namun pihak sekolah sangat melarang siswanya naik keatas karena pernah ada siswa yang tergelincir dan tewas disitu.

“Siapa ?” Aku penasaran

“Gak tau…” ia berseru seraya berlalu.

Akupun ingin tahu dan mengikuti arus berjalan menjauh, tiba-tiba terasa satu sergapan genggaman tangan melingkari pergelangan kiri tanganku.

“Mau kemana ?” Tanya David

“Kesana…” kataku mengarah kebukit belakang sekolah.

“Ngapain ? Mau liat anak stress yang naik kesana ?” Katanya angkuh.

“Iya.” Jawabku.

“Apa itu lebih penting daripada aku?” Tanyanya seolah menjebak.

“Maybe…” komentarku sambil berlalu. Kutinggalkan saja dia, kar’na aku tak suka dilarang.

Kudaki tangga tanah alami, satu demi satu siswa lain lebih cepat melewatiku. Riuh rendah suara mulai menyerobot masuk telingaku saat aku baru setengah jalan. Aneh, padahal ini belum sampai diatas bukit. Dari sini kita hanya bisa melihat bukit lewat sudut bawah menyamping dari kakinya.

Satu plot tak percaya terpetak pada pandanganku. Tak perlu bertanya, aku langsung yakin bahwa anak yang ada disana adalah Dira. Ia sedang menempel didinding bukit curam sambil memegang kain yang ujung lainnya terikat pada akar pohon kering.

AKU CINTA KAMU WIA !!!!”

Barisan huruf yang tercetak di kain yang kini berhasil direntangkan olehnya. Sorak “uhuu..” Riuh kian keras, entah kar’na salut atau ekspresi tak habis pikir. Aku tersenyum dalam hati.

Tapi, tiba-tiba ia tergelincir. Cepat sekali ia meluncur tanpa suara. Aku berlari turun kelembah antara lereng dan kaki bukit. Aku hanya sempat sesaat menangkap sosoknya terperosok dalam semak belukar.

“DIRA !!!!” Teriakku yang menerobos

Hanya bunyi Kresek-kresek rumput kering, kuterobos ilalang yang berbentuk lorong akibat tertimpa benda berat yang terseret.

Suasana berputar dalam bayang-bayang daun hijau, kian berat berubah gelap. Aku pusing, kupejamkan kedua mata ini. Meski begitu, perasaan mual tetap terhirup. Makin lama makin sirna seiring kilau sinar perlahan menembus kelopak mataku.

Gema tapak sepatu menghentak ritme ketakutanku. Saat ini aku didalam lorong putih yang tersorot lampu dari atas. Disisi kananku pintu terbuka, seorang suster melangkah keluar.

“Kaki kanannya retak, dan harus dipasang pin untuk menyatukan kembali tulangnya” ujar dokter dari dalam kamar tersebut.

Aku menerobos masuk, kudapati Dira sedang terbaring dengan kaki kanan terbalut perban. Aroma obat menyengat khas tak terelakkan kuhirup.

Kupandangi wajahnya, ia menatap mataku. Bibirnya bergetar,

“Romantis nggak ?”

Cukup lama kugantung jawabanku, kutantang sorot retina miliknya hingga benar-benar dapat kulihat bayang wajahku terefleksi dikedua pupil kecilnya.

“Romantis terbodoh yang pernah kulihat” jawabku.

Aku benar-benar masih ingat, butuh setidaknya 20 minggu untuk membuatnya dapat kembali bermain bola. Setelah kejadain itu, memang kami berdua kian dekat. Aku serasa tersihir oleh atmosfer cintanya.

Kugapai handphone ku, setelah hidup kutelpon Dira meski ia hanya berjarak beberapa meter dariku. Dua kali bunyi, langsung diangkat.

“Sayang, besok aja ya kita ketemunya. Sekarang aku lagi pengen sendiri. Ok…”

Klik, kuputus dan langsung kumatikan lagi. Rasanya tak sabar menunggu pagi. Ku langsung lingkari tanggal 19 Mei besok.

Aku terbaring, kucoba masuk kembali dalam gorong ingatanku. Mengulang saat-saat terindah dalam hidupku bersamanya.

Adzan Maghrib hampir selesai kudengar. Akupun berhasil terpejam, terlelap damai dan tergeletak ikhlas melepas duniaku dalam keabadian.




Nb : Kisah ini kutulis untuk mengenang teman sekaligus sahabat belajarku

DEWI ARISANDI yang pernah kukenal, yang akan kami kenang dan terus terpasung dalam ingatan. Semoga semua dedikasi kebaikannya mampu membuatnya berada ditempat terbaik disisi-Nya, amin.

25 Mei 2009,

7 hari setelah tragedi

Beautyfly

Yang lentik teracik oleh Sang aestro keindahan, kepakan kecil sepasang sayapmu bergelayut manja disela-sela semak runcing rumput kering. Luwes tubuhmu memainkan gelombang udara yang ada, mengangkat dirimu terpasung mistis dibawah langit berawan tipis.

Dengan jaring lembut berlengan kayu kukejar kupu-kupu itu. Ayunan ringan menjadi perangkap kau dan teman-temanmu yang lain. Hati-hati kumasukkan dalam bening kotak tembus pandang yang nyaris sesak penuh warna-warni.

Merasa cukup dengan tangkapan sore ini aku berkemas pulang. Tiba-tiba semilir harum menyentil indra pembauku. Dibalik pohon besar tak jauh dari tempat aku berdiri, terlihat putih sepotong kain. Penasaran kudekati dan kudapati sesosok wanita sedang duduk sendiri.

“Maaf, kamu kenapa?”

Ia menoleh kaget, kuperhatikan tangannya sedang memegang seekor kupu-kupu berwarna putih polos.

Kuletakkan kotak berat yang kusandang dibahu, lalu langsung kuraih kupu-kupu tersebut.

“Wah, cantik sekali kupu-kupuk ini. Boleh kuminta?”

Dengan lambat ia menyerahkan kupu-kupu tersebut kepadaku. Dari balik hitam lebat rambutnya, kudapati matanya yang merah dan berair.

“Kamu kenapa?” tanyaku penuh selidik sambil membelai belahan mahkota wanita miliknya yang begitu sangat indah. Namun dengan cepat ia menepis tanganku dan berbalik pergi.

Kejadiannya begitu singkat, saat ia menyenggol kotak kupu-kupu milikku hingga terjatuh dari atas akar menyembul tempat yang kupilih untuk menaruh harta berhargaku tadi. Malang tak dapat kutolak, kotak tersebut oleng dan terjatuh pecah.

Bagai roh-roh yang telah lama terkurung, kupu-kupu yang kutangkap semua terbang berserakan diantara pepohonan melewati sisi-sisi tubuhku.

“Oh…” kataku berbalik mengikuti arah mereka terbang.

“M,maaf…” katanya seperti mengeja.

Kupandangi dengan sedih, padahal para pembeli telah seminggu menungguku menepati janji untuk menjual awetan kupu-kupu liar sebagai hiasan.

Ketika aku menoleh, wanita tersebut masuh berdiri dan menekuk wajahnya. Rambut panjangnya hampir menyelimuti 2/3 dari mukanya, meski begitu keindahan parasnya dapat kurasakan 3 X lipat dari 1/3 sisi yang terlihat.

“Aku Erdy” kujabat tangan kurus nan lembut miliknya.

“Rhena” jawabnya singkat.

“Gak apa-apa, besok aku bisa cari lagi kok…” aku berusaha mencari perhatiannya.

Lagi-lagi ia tak memberikan reaksi yang berarti bagiku. Ia melepaskan tanganku yang sedari tadi memang masih mengikat erat tangannya.

“Maaf…” kali ini aku yang berkata gugup sambil cengengesan.

180 derajat ia berputar dan berjalan pelan menjauhiku. Nanti akan kucari tahu dimana ia tinggal kataku dalam hati.

Hingga hilang ia dari pandangan, aku baru bergerak pulang.

Sejak kejadian tersebut, banyak langgananku yang kabur. Mereka ternyata sangat kecewa. Bahkan hampir 2 minggu aku tak mendapatkan pembeli untuk hiasan kupu-kupu milikku.

Ah, lebih baik aku mempersiapkan stok barang jualanku. Kalau nanti telah ada yang memesan, aku tak perlu repot-repot mengejar target janjiku.

Maka esok harinya, tepat 2 minggu dari tragedi pecahnya kotak kaca, aku dengan persiapan seperti biasanya berangkat kehutan tempat aku menangkap kupu-kupu..

Benar-benar aneh, hampir 2 jam aku berkeliling. Tak satupun terlihat serangga terbang untuk kukejar. Rasa lelahpun cepat menghinggapi diri. Didekat seonggok rumput tebal aku duduk istirahat. Kuayunkan jaring milikku kesana-kemari sebagai bentuk kekesalan yang tak jelas.

Tak jauh dari situ, kulihat sebuah objek kecil putih berayun tak seimbang. Namun 100% kuyakin itu adalah kupu-kupu pertamaku dihari ini. Tanpa membawa kotak kaca yang baru kubeli, langsung kukejar dan kudekati targetku kali ini.

Ternyata kupu-kupu ini lumayan besar dan benar-benar solid warna putihnya. Perlahan- kuayunkan jaring bertangkai milikku, beberapa kali ia berhasil lolos. Bagiku itu biasa, maka tak heran diayunan berikutnya ia telah tak berkutik diantara perangkap jaring tipisku.

Takut merusak sayap rapuhnya, pelan-pelan kuambil. Aneh, ia diam tak bergerak. Malah aku langsung mencium wangi yang tak asing bagiku. Tiap detik wangi tersebut kian tajam merobek kesadaranku, tubuhku lemah tak bernyawa, aku langsung tergeletak tak mampu bergerak. Tetapi aku masih dapat melihat sesuatu terbang, silau bercahaya mengalun keangkasa.

Saat sadar, kerumunan orang-orang yang tak kukenal menghantam keras hingga ku_terbangun dari kepingsananku.

“Apa yang kau lakukan nak?”

Aku layaknya orang pikun, tak tahu ingin bicara apa. Seolah mengerti apa yang terbaik untukku, para orang tersebut menggiringku kerumah terdekat.

Sehabis membunuh semua kebingunganku, maka kupaparkan semua kisah yang kualami. Mulai dari awal hingga apa yang kuingat disaat terakhir kesadaranku.

Paras keterkejutan menjalari para warga. Seorang pria yang kurasa orang yang dituakan memaparkan bahwa penduduk sekitar desa ini percaya bahwa kupu-kupu merupakan roh penjaga desa. Mereka menyebutnya Rhena, kupu-kupu putih polos. Kupu-kupu tersebut merupakan jelmaan dari Ratu kupu-kupu yang akan selalu berusaha melindungi koloni komunitasnya dari gangguan makhluk asing.

Maka akupun mengerti ternyata ia telah dengan sengaja melepaskan semua kupu-kupu yang kutangkap. Aku yakin, kemarin ia sedang bersedih melepas kepergian temannya saat kudekati. Dan keanehan yang kualami pasti teguran agar aku sadar atas perbuatanku ini yang sangt dibencinya.


14 Februari 2009