Foreplay
Pilu temani aku yang bangkit dari kondisi tak sadar.
Kuraih ponsel dan langsung ku telpon kekasihku nifta rieti yumi. Beberapa kali
nada tunggu membayangi penantianku, maklumlah, sekarang pukul 2 pagi, tapi
perasaan tak enak membuatku nekat. Maka kesekian kali akhirnya nada yang
kunanti muncul
“hmm,,,?” gumaman kantuk menggumpal dari speaker
“kamu gpp..?” pertanyaan bodoh terlahir bagitu saja
Klik, telepon terputus. Aku tak kesal, karena lebih
baik bagitu daripada tak ada respon darimu.
Kembali aku terdiam, tapi pikiranku benar-benar masih
memikirkan peristiwa yang baru saja aku alami. Ah, cuman sekedar mimpi aku
meyakinkan diri ini untuk tak berlebihan. Walau begitu, tetap saja aku terjaga
hingga pagi.
Dalam perasaan ini kepadamu, hingga terasa selalu ada
nafasmu dihidupku. Temani hari demi hari ku tanpa jenuh, hampir ganjil 3 tahun.
Semuanya indah, tak ada sedikitpun ragu untuk selalu disisimu.
Jika aku tak terlalu angkuh, mungkin diri ini tak
menyesali semuanya yang terjadi. Aku masih benar-benar tak habis pikir, begitu
teganya diri ini meninggalkanmu disaat-saat dirimu telah dan sangat membutuhkan
sosok yang bisa diandalkan. Tapi aku juga sedang gersang saat itu, aku sedang
kehilangan kompas hidupku, aku sesaat rapuh terserang kelemahan sebagai manusia
biasa. Andai kamu tak mengijinkanku untuk pergi, teguh terhadap diriku, mungkin
aku takkan pernah menjadi makhluk terkelam dihidupmu Nifta...
Tapi, semuanya seakan merayap, jauh tertinggal
mematahkan teori-teori waktu. Hari seakan tahunan kulewati, sosok yang kini
menemaniku seakan-akan hanya bayangan pasif. Ada tanpa rasa, nyata tapi terasa
sementara. Aku menghilang, tapi bukan selamanya. Karena masih banyak waktu
untuk bertemu, masih banyak tempat yang takkan menghambat, maka pasti masih ada
rasa antara kita.
Aku hanya perlu sekali saja menghabisi peluang
terakhirku padamu, menikammu tepat disaat tertepat didalam historis kehidupanmu
Rieti. Sama persis dan mutlak seimbang layaknya membayar tunai sebuah kesalahanku padamu, yakni
memutuskanmu Yumi. Maka,
jangan pernah mengunci pintu hatimu. Tutuplah saja untuk sementara, sebab bisa
saja aku datang disaat –saat terakhir. Sebagai tuan rumah, atau hanya sebagai
tamu undanganmu.
Pasir-pasir pantai yang telah setia temani kita dahulu
mungkin tak rela dengan keputusanku dulu, hingga seolah terkutuklah aku yang
terlahir diatas bumi berpasir ini. Kadang aku terpaksa menambah pundi-pundi
dosa disetiap detik, bahkan kadang berpangkatlah ia ketika aku mengingatmu.
Jujur, aku masih tak perduli dengan gunjingan mereka.
Mereka tak pernah akan tau bagaimana kita dahulu, apalagi kini aku dan dirimu
yang sama-sama berjuang dalam jalan berbeda namun hanya ingin bahagia dengan
cara kita masing-masing.
Waktu-waktu kulewati bersamanya, yang pasti bukan
dirimu. Hampir habis sisa waktuku yang diam-diam kamu lemparkan padaku. Maka,
disaat-saat itu aku pasti akan berlari mengejarmu, membawa semua yang aku punya
untuk menyuntingmu.
Ditiap jalan, siang malam aku pastikan tak berhenti.
Karena dia juga takkan pernah berhenti berjuang untukmu. Yang pastinya hanya ada satu yang bisa
menjadi pengantinmu.
Ribuan penghalangku mulai muncul dari balik kegelapan
hutan, mengejarku dalam rimba perjuanganku. Tak banyak yang kupunya, hanya
cukup untuk kita berdua. Maka tak ada lagi yang bisa kubagi dengan mereka yang
mengejarku.
Ransel ku genggam erat dalam pelukan, maka ranting
kayu keras ada ditangan-tanganku, sebagai pelindung diriku. Modalku hanya bisa
berlari, terus mengikuti jalur-jalur kereta impianku padamu.
Sebuah terkaman nyaris menyambar leherku, benar-benar
bisa berobek tenggorokanku. Aku tak bisa terus berlari, minimal akan kuberikan
perlawanan pada penguasa hutan ini. Kuda-kuda kupasang, maka diterkaman
berikutnya ia bergetar diatas tubuhku, berguling-guling diatas gemburnya tanah
hitam sang hutan. Cakarnya yang lebih unggul menekan lengan dan pahaku, darah
segar menguap, termakan ketakutanku. Tak habis akal, sebelum dirinya lebih
agresif, tongkat kayu yang diantara taring-taringnya kutekan keatas, tercipta
ruang antara kepala kami berdua. Hanya inilah kesempatanku, kaki-kaki panjangku
menerjangnya. Hingga lepas sejenak dari ambang kematianku. Ancang-ancang,
kembar kami bertarung dalam remang-remang. Antara hidup mati kami tak kenal
menyerah, kupertaruhkan segalanya, semua yang ada didiriku, demikian juga
dirinya. Kilatan menyambar, silau terjangan yang mungkin mengakhiri duel kami.
Aku tersentak, ia lebih tangguh dari diriku, juga lebih unggul dalam
lingkungannya. Aku kalah,,,
Sadar hanya akan konyol jika masih kupaksakan, maka ku
menghindar, antara dahan-dahan rimbun aku menyelinap, sisa-sisa merah darah
menetesi jalanku, bersama perih kekalahanku.
Segenap tenaga kuberjuang menyelamatkan diri,
setidaknya aku masih punya nyawa untuk mencoba kembali meski harus mencari
jalan lain menuju impianku. Memutar otak memeras neuron-neuron yang berguncang
dalam kepalaku, yang tak pernah tidur, yang tetap terjaga ditiap sel-selnya.
Maincourse
Tak bisa kupungkiri, butuh waktu lama untuk bisa
bangkit setelah keterpurukanku. Disudut gua-gua bukit hidupku aku tinggal,
bersama semua yang kupunya. Hanya bulan yang bisa kuhitung, ratusan purnama
bundar menerangi tiap 15 hari kegelisahanku. Hingga satu senja, aku
menemukannya. Terdiam diufuk danau, berkecipak ditepian batu, memainkan air
yang jernih sekedarnya. Diam kudekati, sunyi percakapan, hingga tercipta
chemistry alami antara kami. Kucumbui waktu bersamanya, memupuk rindu yang
mengerucut, tajam membuat lubang-lubang kasih yang selalu kurindukan, aku
melupakanmu.
Tenggelam dalam kenyamananku, kujelajahi dunia.
Menemukan tempat-tempat yang hilang. Menapaki gunung-gunung keabadian,
melompati lembah-lembah terjal, mengikat rakit bermain antara sungai-sungai yang
mengalir, aku jatuh hati dengannya.
Kupanggil ia “senjaku”, oranye warnanya. Temani tiap
surga duniaku, merangkulku erat-erat. Angin saksinya, sahabat sepanjang
perjalanan hidupku, yang selalu mengabari kabarmu, menyampaikan salam bahagia,
yang menandakan telah haram kamu kudekati.
Maka berakhirlah semua antara kita, hanya menyisakan
dia. “Dia” milikku dan “dia” milikmu. Sosok yang akan menemani kita bahagia
dalam porsinya masing-masing, menghadirkan hidangan terbaik yang dimilikinya,
menyajikannya untuk kita.
Coolingdown
Masih bersamanya, aku tak jenuh mengelilingi bumi,
menginap antara sore, beratap bintang. Hingga kutemukan garis melengkung,
tercipta diatas tanah buram. Kudekati, hangat atmosfernya. Satu langkah
kumasuki wilayah yang baru kali ini kujumpa, seketika lingkunganku bergejolak,
berubah menjadi abu-abu, hitam putih, mid dalam range warna.
Sekelibat bayanganmu muncul, tanpa rasa aku yakin
inilah istanamu, bersama sang pangeran dikehidupanmu. Membuat lingkaran
melingkari kediamanmu, dirinya melindungimu. Dari jari manis hingga ujung
nafasmu, mengikat sumbu abadi. Siap menyala, lebih terang dari pecahan bintang,
lebih hangat dari bara, selalu membakar dengan senyumanmu sebagai pemicunya.
Hanya sekedar tahu, turut bahagia bersamanya. Aku
mundur, kembali dalam duniaku bersama senjaku. Aku pun telah temukan bagian
hari-hariku, ditiap ujung waktu ia setia bersamaku. Layaknya dirinya terhadap
dirimu, mungkin begitulah.
Mungkin akan kulanjutkan kisah ini saat aku siap, siap
menerima lompatan-lompatan imajinasiku. Lalu menulisnya dalam kisah kita semua.
Akhir malam menjelang 28 Mei 2012