Paradixie
semua kisah yang saya tulis adalah pelampiasan emosi. jadi mungkin hanya saya yang mengagumi dan mengerti beberapa makna yang ada didalamnya.
Senin, 12 November 2012
Sabtu, 25 Agustus 2012
Lost Memory
(23agustus2012.13:32) Disini, tepat diruangan ini
dulu kita berdua bercanda. Sudut-sudut ruang tamu yang sekedarnya, debu-debu
tipis terkejut atas kehadiranku. Suara manja kucing yang mengganggu, kursi yang
masih belum berubah, sekedar aku yang tak sama. Berbeda sejak terakhir aku
kemari, datang sekejap membawa tawa air mata. Yang suaranya masih meraung
dibenakku, yang basahnya masih membekas samar menodai ketulusanmu dulu.
Aku benar-benar mengerti, kamu takkan bisa aku
raih saat ini. Karena satu kesalahanku.Yang membuat semua pengertianmu menguap,
menyisakan kantuk berat, membebani jiwaku.
Tolong, maafkan aku, meski maafmu hampir selalu
kamu beri, diantara tiap permintaanku. Tapi tetap saja aku masih belum bisa
memaafkan diriku sendiri. Diri yang kian tenggelam tiap kali memandangi
pernak-pernik kenanganku bersamamu. Bahkan hingga tiap hujan, tiap gerimis,
tiap senja, aku mengingatmu. Meski tak terucap, hanya terus men_tato perasaan
dengan jarum-jarum tajam tak berbentuk, namun perihnya membuatku terjaga,
waspada, liar mencakar rimba rasa
Pertemuan tadi begitu hambar, namun ibarat sajian
dari seseorang yang teristimewa menjadikannya demikian tak terbatas.
Meluap-luap mengguncang hati. Hanya sayang, kupastikan kamu memang pasti
miliknya saat ini.
Layaknya pendusta, aku biarkan dirimu membohongiku
dengan kemanisanmu. Membiarkan kepuasanmu mengerjaiku, hingga mencukupi gairah
Lupin_mu, yang seolah mulai berbenalu, kian menggerogotimu.
Kadang, firasat mencolek nyenyak tidurku. Memberi
isyarat memastikanmu masih dipunggungku, ada khusus untukku. Tapi hanya
keyakinan menggugahku, berteriak bahwa kamu itu adalah wanita, makhluk yang
penuh dengan tanda tanya, maka percuma jika mengandalkan keberuntungan untuk
memilikimu. Sedangkan aku sekedar tanda seru, tegak bertitik. Kadang lelah
berdiri, namun kodrat membuatku hanya bisa menandaimu dengan tandaku.
Mempercayai kepercayaanku kepadamu, melemparkan harapan mengharapkanmu.
Maka teruskanlah mimpi-mimpimu memilikinya, aku
bantu doa. Tapi tolong, jangan pernah berniat menghapus kenangan kita, apalagi
berusaha melenyapkannya. Sebab itu semua percuma. Masa lalu bukanlah momok,
yang ditakuti bocah-bocah tak berkompas, tapi malah lelucon dewasa yang meracau
menggoda makhluk yang tak berpegangan.
(24agustus2012. 23:45) Untuk yang terakhir, sekali
lagi kata-kata klise terlahir dari mulut ini. Seonggok harapan menghiasi ujung bibirku,
menenangkanmu yang terisak dihadapanku. Masih hangat tangan ini digenggamanmu,
masih terasa degupan nadimu di pembuluh darahku, masih jelas pantulan perihmu,
dalam mataku. Terpatri mati, terukir permanen, tanpa tepi.
Hujaman waktu begitu keras, mencabik aku,
membuatmu berderai duka. Kenapa harus kamu yang aku kecewakan,,,?
Gerhana melingkupi jawabannya, sebab ada yang
menghalangi kita untuk terus bersama. Takdir benar-benar telah menggariskannya
begitu, bergerigi diujung hubungan ini. Bukan main emosimu meracuni dinding
terakhir ku. Mata ini tergenang, jutaan saraf kompak berteriak, vonis tangis
telak meninjuku.
Gemulai penyesalan mengulurkan lengannya,
menggapai-gapai arwah yang terlambat datang. Menyisakan satu kata,
menyingkirkan ribuan fakta, rindu yang berkecambah dalam wadah duka.
Katamu, simalakama tersaingi dengan kondisiku,
cemohan tak mampu menggodaku. Perangkap-perangkap gengsi luruh lantah
menghabisi masa subur darah dalam rahim. Mungkin aku yang terlahir tercetak
begini, untuk kamu hianati. Bahkan permohonan terakhirpun tak kau berikan,
hanya palu mengakhiri semuanya. Menutup kasus kita.
Jawabku, berat menjalaninya. Bukan tak percaya,
hanya kita semestinya bisa bertahan dengan kenyataan. Walaupun itu adalah
reaksi dari aksi-aksi kita. Sebab segala hasil hanya buah dari ladang yang
telah kita garap. Yang pahit, manis, subur, gersang sekedar bingkai panen.
Harusnya aku bisa bersabar, bukan menggeliat
ditengah-tengah penggorengan yang mendidih. Bukan pula meniru banteng yang
beringas terintimidasi kondisi. Meski tajamnya pedang matador menikamku,
minimal aku masih punya beberapa nafas terakhir yang semestinya kugunakan
membahagiakanmu. Meyakinkanmu bahwa semestinya aku yang berdiri menemanimu.
Ternyata rotasi semesta telak menertawakanku.
Lengkungan elipsnya mengembalikanku kepadamu. Tepat satu putaran, dengan
ditemani pusat bodongnya tatasurya, aku terbakar cemburu.
Bukan dia yang merangkul, tapi kamu yang
memeluknya. Hingar bingar congkak mengalahkan hidung pinokio, memanjangkan
batangnya. Batang hidungnya yang terlanjur maju dengan terpaksa, terdorong oleh
dukunganmu tentunya.
Luka terjatuh bisa terobati dengan antiseptik,
tapi darah ini bergejolak. Berdecak memuai layaknya resah yang tak menemukan
media setara menjalankan ritualnya. Menitik acak didinding-dinding hati.
Tinggal aku mungkin yang menelannya. Agar segera pingsan, dan berharap tersadar
dalam papahanmu. Asal bukan saat-saat sebelum diriku terlempar dalam galian
tanah bernisan, aku rela.
Aku yakin kamu tahu, aku masih menitipkan setengah
hatiku padamu. Yang setengahnya lagi selalu ingin aku berikan. Agar melengkapi
tubuhmu untuk menetralisir racun-racun disekitarku. Yang selalu menyerangku
layaknya wabah, bergelora merangkak melewati system saraf, tanpa jeda, tanpa
macet menuju otak. Memerintahkan menjauhimu.
Tapi aku bukan seonggok tubuh, aku berdiri dalam
roh. Ada jiwa yang berperasaan, dan perasan ini kuat kepadamu. Menolehlah
sejenak, lihat aku dicelah hidupmu. Memang jelas aku bukan bayanganmu, akupun
sekedar timbul menyapa lalu hilang tersapu cuaca. Namun, jika beri aku waktu
untuk tumbuh, tak segan diri ini mengakar, yang merobek tanah beratap udara
bersahabat air, hingga menjadi tunggul tempat kamu menautkan tali
mimpi-mimpimu.
Jangan pula kau siram aku dengan cacianmu, tanaman
terkeraspun pasti layu ketika mataharinya menyinari terlampau panas. Cukuplah
yang hangat menenangkannya, sekedar salju juga takapa, sebagai kerikil dalam
fondasi, yang sendiri pasti menusuk kaki, namun beserta pasir malah mengokohkan
bangunan yang nantinya berdiri.
Selasa, 10 Juli 2012
fajar Q
Untukmu, dari aQ diantaranya...
Kesalahanku telah meninggalkannya,,,
Sekali, ya, hanya sekali aQ meninggalkannya,,,
Tapi takkan pernah kucicipi maafnya lagi,,,
Telah habis waktuny,,,
Kiamat kecil untuk kesempatan keduaku,,,
Menyisakan setumpuk memory usang,,,
Maka jangan pernah berbuat tanpa sedikitpun berpikir, kelak pasti kau akan tertunduk.
Seperti langit, yang takkan pernah bisa menyentuh bumi. Seperti mata, yang
sejauh apapun memandang, takkan pernah mendapati punggung yang begitu perkasa
menopang.
Namun, apapun yang terjadi, dia tetap indah. Meski bukan milikku,,,
aQ mampu menyanjungnya tanpa pamrih. Tanpa harapan, karena ad yang lbh
pantas dia harapkan.
aQ pun demikian,,,
kian hijau harapanku padamu, yang muncul ditiap subuh, pada sang penghuni
fajar…
meski hanya beberapa menit, tapi aQ akan terus menantimu menyapaku. Dalam
kerinduan, aQ tersenyum. Antara udara, aQ terhapus. Menyisakan bintik-bintik rindu
yang melayang
Senin, 28 Mei 2012
Kisah Kita
Foreplay
Pilu temani aku yang bangkit dari kondisi tak sadar.
Kuraih ponsel dan langsung ku telpon kekasihku nifta rieti yumi. Beberapa kali
nada tunggu membayangi penantianku, maklumlah, sekarang pukul 2 pagi, tapi
perasaan tak enak membuatku nekat. Maka kesekian kali akhirnya nada yang
kunanti muncul
“hmm,,,?” gumaman kantuk menggumpal dari speaker
“kamu gpp..?” pertanyaan bodoh terlahir bagitu saja
Klik, telepon terputus. Aku tak kesal, karena lebih
baik bagitu daripada tak ada respon darimu.
Kembali aku terdiam, tapi pikiranku benar-benar masih
memikirkan peristiwa yang baru saja aku alami. Ah, cuman sekedar mimpi aku
meyakinkan diri ini untuk tak berlebihan. Walau begitu, tetap saja aku terjaga
hingga pagi.
Dalam perasaan ini kepadamu, hingga terasa selalu ada
nafasmu dihidupku. Temani hari demi hari ku tanpa jenuh, hampir ganjil 3 tahun.
Semuanya indah, tak ada sedikitpun ragu untuk selalu disisimu.
Jika aku tak terlalu angkuh, mungkin diri ini tak
menyesali semuanya yang terjadi. Aku masih benar-benar tak habis pikir, begitu
teganya diri ini meninggalkanmu disaat-saat dirimu telah dan sangat membutuhkan
sosok yang bisa diandalkan. Tapi aku juga sedang gersang saat itu, aku sedang
kehilangan kompas hidupku, aku sesaat rapuh terserang kelemahan sebagai manusia
biasa. Andai kamu tak mengijinkanku untuk pergi, teguh terhadap diriku, mungkin
aku takkan pernah menjadi makhluk terkelam dihidupmu Nifta...
Tapi, semuanya seakan merayap, jauh tertinggal
mematahkan teori-teori waktu. Hari seakan tahunan kulewati, sosok yang kini
menemaniku seakan-akan hanya bayangan pasif. Ada tanpa rasa, nyata tapi terasa
sementara. Aku menghilang, tapi bukan selamanya. Karena masih banyak waktu
untuk bertemu, masih banyak tempat yang takkan menghambat, maka pasti masih ada
rasa antara kita.
Aku hanya perlu sekali saja menghabisi peluang
terakhirku padamu, menikammu tepat disaat tertepat didalam historis kehidupanmu
Rieti. Sama persis dan mutlak seimbang layaknya membayar tunai sebuah kesalahanku padamu, yakni
memutuskanmu Yumi. Maka,
jangan pernah mengunci pintu hatimu. Tutuplah saja untuk sementara, sebab bisa
saja aku datang disaat –saat terakhir. Sebagai tuan rumah, atau hanya sebagai
tamu undanganmu.
Pasir-pasir pantai yang telah setia temani kita dahulu
mungkin tak rela dengan keputusanku dulu, hingga seolah terkutuklah aku yang
terlahir diatas bumi berpasir ini. Kadang aku terpaksa menambah pundi-pundi
dosa disetiap detik, bahkan kadang berpangkatlah ia ketika aku mengingatmu.
Jujur, aku masih tak perduli dengan gunjingan mereka.
Mereka tak pernah akan tau bagaimana kita dahulu, apalagi kini aku dan dirimu
yang sama-sama berjuang dalam jalan berbeda namun hanya ingin bahagia dengan
cara kita masing-masing.
Waktu-waktu kulewati bersamanya, yang pasti bukan
dirimu. Hampir habis sisa waktuku yang diam-diam kamu lemparkan padaku. Maka,
disaat-saat itu aku pasti akan berlari mengejarmu, membawa semua yang aku punya
untuk menyuntingmu.
Ditiap jalan, siang malam aku pastikan tak berhenti.
Karena dia juga takkan pernah berhenti berjuang untukmu. Yang pastinya hanya ada satu yang bisa
menjadi pengantinmu.
Ribuan penghalangku mulai muncul dari balik kegelapan
hutan, mengejarku dalam rimba perjuanganku. Tak banyak yang kupunya, hanya
cukup untuk kita berdua. Maka tak ada lagi yang bisa kubagi dengan mereka yang
mengejarku.
Ransel ku genggam erat dalam pelukan, maka ranting
kayu keras ada ditangan-tanganku, sebagai pelindung diriku. Modalku hanya bisa
berlari, terus mengikuti jalur-jalur kereta impianku padamu.
Sebuah terkaman nyaris menyambar leherku, benar-benar
bisa berobek tenggorokanku. Aku tak bisa terus berlari, minimal akan kuberikan
perlawanan pada penguasa hutan ini. Kuda-kuda kupasang, maka diterkaman
berikutnya ia bergetar diatas tubuhku, berguling-guling diatas gemburnya tanah
hitam sang hutan. Cakarnya yang lebih unggul menekan lengan dan pahaku, darah
segar menguap, termakan ketakutanku. Tak habis akal, sebelum dirinya lebih
agresif, tongkat kayu yang diantara taring-taringnya kutekan keatas, tercipta
ruang antara kepala kami berdua. Hanya inilah kesempatanku, kaki-kaki panjangku
menerjangnya. Hingga lepas sejenak dari ambang kematianku. Ancang-ancang,
kembar kami bertarung dalam remang-remang. Antara hidup mati kami tak kenal
menyerah, kupertaruhkan segalanya, semua yang ada didiriku, demikian juga
dirinya. Kilatan menyambar, silau terjangan yang mungkin mengakhiri duel kami.
Aku tersentak, ia lebih tangguh dari diriku, juga lebih unggul dalam
lingkungannya. Aku kalah,,,
Sadar hanya akan konyol jika masih kupaksakan, maka ku
menghindar, antara dahan-dahan rimbun aku menyelinap, sisa-sisa merah darah
menetesi jalanku, bersama perih kekalahanku.
Segenap tenaga kuberjuang menyelamatkan diri,
setidaknya aku masih punya nyawa untuk mencoba kembali meski harus mencari
jalan lain menuju impianku. Memutar otak memeras neuron-neuron yang berguncang
dalam kepalaku, yang tak pernah tidur, yang tetap terjaga ditiap sel-selnya.
Maincourse
Tak bisa kupungkiri, butuh waktu lama untuk bisa
bangkit setelah keterpurukanku. Disudut gua-gua bukit hidupku aku tinggal,
bersama semua yang kupunya. Hanya bulan yang bisa kuhitung, ratusan purnama
bundar menerangi tiap 15 hari kegelisahanku. Hingga satu senja, aku
menemukannya. Terdiam diufuk danau, berkecipak ditepian batu, memainkan air
yang jernih sekedarnya. Diam kudekati, sunyi percakapan, hingga tercipta
chemistry alami antara kami. Kucumbui waktu bersamanya, memupuk rindu yang
mengerucut, tajam membuat lubang-lubang kasih yang selalu kurindukan, aku
melupakanmu.
Tenggelam dalam kenyamananku, kujelajahi dunia.
Menemukan tempat-tempat yang hilang. Menapaki gunung-gunung keabadian,
melompati lembah-lembah terjal, mengikat rakit bermain antara sungai-sungai yang
mengalir, aku jatuh hati dengannya.
Kupanggil ia “senjaku”, oranye warnanya. Temani tiap
surga duniaku, merangkulku erat-erat. Angin saksinya, sahabat sepanjang
perjalanan hidupku, yang selalu mengabari kabarmu, menyampaikan salam bahagia,
yang menandakan telah haram kamu kudekati.
Maka berakhirlah semua antara kita, hanya menyisakan
dia. “Dia” milikku dan “dia” milikmu. Sosok yang akan menemani kita bahagia
dalam porsinya masing-masing, menghadirkan hidangan terbaik yang dimilikinya,
menyajikannya untuk kita.
Coolingdown
Masih bersamanya, aku tak jenuh mengelilingi bumi,
menginap antara sore, beratap bintang. Hingga kutemukan garis melengkung,
tercipta diatas tanah buram. Kudekati, hangat atmosfernya. Satu langkah
kumasuki wilayah yang baru kali ini kujumpa, seketika lingkunganku bergejolak,
berubah menjadi abu-abu, hitam putih, mid dalam range warna.
Sekelibat bayanganmu muncul, tanpa rasa aku yakin
inilah istanamu, bersama sang pangeran dikehidupanmu. Membuat lingkaran
melingkari kediamanmu, dirinya melindungimu. Dari jari manis hingga ujung
nafasmu, mengikat sumbu abadi. Siap menyala, lebih terang dari pecahan bintang,
lebih hangat dari bara, selalu membakar dengan senyumanmu sebagai pemicunya.
Hanya sekedar tahu, turut bahagia bersamanya. Aku
mundur, kembali dalam duniaku bersama senjaku. Aku pun telah temukan bagian
hari-hariku, ditiap ujung waktu ia setia bersamaku. Layaknya dirinya terhadap
dirimu, mungkin begitulah.
Mungkin akan kulanjutkan kisah ini saat aku siap, siap
menerima lompatan-lompatan imajinasiku. Lalu menulisnya dalam kisah kita semua.
Akhir malam menjelang 28 Mei 2012
Sabtu, 24 Maret 2012
Senja Ku
Sebelumnya sudah puas aku lewati perasaan seperti ini, muak dengan keadaan yang sedikitpun tak beranjak, diam diantara himpitan kenyataan , lelah dengan keputusan yang tepat terlontar dari semua perusahaan tempatku bekerja.
Kokok ayam bersahutan, gagah temberang, saling adu lolongan terpanjang, tak pernah terganggu pejantan-pejantan yang lain, juga angkuh dan seolah enggan perduli keluh kesahku.
Sekali jalan, mandi dan muncullah aku , didepan kamar kost yang tak teratur, tak kukunci pintu, kutinggalkan begitu, karena tak ada benda berharga, yang tersisa hanya jenuh tak berongga, sakau yang tak berbayang.
Karena hari ini, ada gaji terakhir untuk penyambung isi perut yang harus cepat ku ambil, malam nanti ada lintah-lintah yang juga telah tak sabar ingin menikmatinya. Enggan kuakui, tapi begitulah kenyataannya. Malu tak lagi berbenalu diotakku, yang kurasa hanya ada tekad untuk terus berjalan, agar dia bisa kumiliki. Diujung kota, disudut gang, antara pipa-pipa aku yakin dia setia menantiku. Menunggu aku yang bahkan bukan siapa-siapa baginya, hanya percaya dan seonggok rasa antara jantung dan empedu didadanya membuatku masih bisa berjuang.
“Andi..!!!”
Aku berlari antara puluhan pria-pria tak berkompas, hanya bermodal angin, acak melangkah, hingga rayap-rayap usia memangsa para sendi-sendi tubuh kami yang akan menghentikan nafas dan usaha ini.
Amplop setipis silet kugenggam, tajam paraf seadanya kugores didaftar serah terima.
Seperti debu aku berhembus, menembus kerumunan-kerumunan penunggu sepertiku. Erat jemari memastikan amplop ini tetap didekat tubuhku. Ada senyum luka dihati, tanpa alibi aku pastikan detik ini resmi sudah “plat” pengangguran terpasung dimata kaki. Berat walau tak kasat mata, hanya massa jenis imajinasinya yang membebaniku melangkah.
Kuambil rute memutar, meninggalkan sisa-sisa aroma kekecewaan, melintasi bibir buih pantai, bermimpi anginnya bisa sedikit membuang kesialanku. Meski sisi-sisi langit begitu indahnya akrab memeluk laut, aku tak mampu tersenyum. Alunan daun-daun kelapa gemulai mengikuti spektrum burung elang yang vertikal menghujam mangsanya, tangguh memutar kembali mengintai mengitari targetnya.
Usang keinginan untuk pulang, merangkak harapanku, bahkan terbersit keinginan untuk merayap menuju kamarku. Biarlah kuhabiskan usiaku diperjalanan ini, agar habis semua masa hidupku, hingga hanya Izrail yang sabar menantiku.
Ujung sepatu kulit yang tak pernah tersentuh perawatan ada di pupil-pupil mata, aku hanya menunduk sepanjang perjalanan kembali. Satu suara melambungkanku, saat satu sosok diseberang pagar pemecah ombak melambai kearahku.
“Sayang..!!!” tangannya mengajakku mendekat
“Ngapain disini..?” tanyaku terlontar diantara puluhan pasang mata yang mungkin tak habis pikir apa yang mereka dengar tadi. Sebuah tubuh tarbalut kain suci memanggil seorang pria lusuh dijalanan
“Nungguin kamu pulang…” Jawabnya singkat, sekaligus mengarahkanku duduk disampingnya.
Biru laut berkilau, bergelombang bergejolak dalam dada. Milyaran angan dan harapan rasanya kini ada dipundakku. Bukan berat yang kukuatirkan, namun apa aku mampu membuatmu bertahan dengan semua keadaanku.
Sunyi dari bibirmu, senyap melanda. Mengobrak-abrik kegelisahanku, menggantinya dengan satu genggaman diantara jemariku. Aroma dukunganmu begitu terasa, menopangku dengan semua kepercayaanmu padaku.
Maka sore itu dengan sisa-sisa senja kami menutupnya berdua. Berharap nanti masih ada keajaiban dicebisan usahaku, diujung tiap doaku, disimpul perjuanganku yang baru saja berdengung seiring peluit baru dikehidupanku yang meraung panjang.
Malam tengah gerimis, 11 Maret 2012
Kokok ayam bersahutan, gagah temberang, saling adu lolongan terpanjang, tak pernah terganggu pejantan-pejantan yang lain, juga angkuh dan seolah enggan perduli keluh kesahku.
Sekali jalan, mandi dan muncullah aku , didepan kamar kost yang tak teratur, tak kukunci pintu, kutinggalkan begitu, karena tak ada benda berharga, yang tersisa hanya jenuh tak berongga, sakau yang tak berbayang.
Karena hari ini, ada gaji terakhir untuk penyambung isi perut yang harus cepat ku ambil, malam nanti ada lintah-lintah yang juga telah tak sabar ingin menikmatinya. Enggan kuakui, tapi begitulah kenyataannya. Malu tak lagi berbenalu diotakku, yang kurasa hanya ada tekad untuk terus berjalan, agar dia bisa kumiliki. Diujung kota, disudut gang, antara pipa-pipa aku yakin dia setia menantiku. Menunggu aku yang bahkan bukan siapa-siapa baginya, hanya percaya dan seonggok rasa antara jantung dan empedu didadanya membuatku masih bisa berjuang.
“Andi..!!!”
Aku berlari antara puluhan pria-pria tak berkompas, hanya bermodal angin, acak melangkah, hingga rayap-rayap usia memangsa para sendi-sendi tubuh kami yang akan menghentikan nafas dan usaha ini.
Amplop setipis silet kugenggam, tajam paraf seadanya kugores didaftar serah terima.
Seperti debu aku berhembus, menembus kerumunan-kerumunan penunggu sepertiku. Erat jemari memastikan amplop ini tetap didekat tubuhku. Ada senyum luka dihati, tanpa alibi aku pastikan detik ini resmi sudah “plat” pengangguran terpasung dimata kaki. Berat walau tak kasat mata, hanya massa jenis imajinasinya yang membebaniku melangkah.
Kuambil rute memutar, meninggalkan sisa-sisa aroma kekecewaan, melintasi bibir buih pantai, bermimpi anginnya bisa sedikit membuang kesialanku. Meski sisi-sisi langit begitu indahnya akrab memeluk laut, aku tak mampu tersenyum. Alunan daun-daun kelapa gemulai mengikuti spektrum burung elang yang vertikal menghujam mangsanya, tangguh memutar kembali mengintai mengitari targetnya.
Usang keinginan untuk pulang, merangkak harapanku, bahkan terbersit keinginan untuk merayap menuju kamarku. Biarlah kuhabiskan usiaku diperjalanan ini, agar habis semua masa hidupku, hingga hanya Izrail yang sabar menantiku.
Ujung sepatu kulit yang tak pernah tersentuh perawatan ada di pupil-pupil mata, aku hanya menunduk sepanjang perjalanan kembali. Satu suara melambungkanku, saat satu sosok diseberang pagar pemecah ombak melambai kearahku.
“Sayang..!!!” tangannya mengajakku mendekat
“Ngapain disini..?” tanyaku terlontar diantara puluhan pasang mata yang mungkin tak habis pikir apa yang mereka dengar tadi. Sebuah tubuh tarbalut kain suci memanggil seorang pria lusuh dijalanan
“Nungguin kamu pulang…” Jawabnya singkat, sekaligus mengarahkanku duduk disampingnya.
Biru laut berkilau, bergelombang bergejolak dalam dada. Milyaran angan dan harapan rasanya kini ada dipundakku. Bukan berat yang kukuatirkan, namun apa aku mampu membuatmu bertahan dengan semua keadaanku.
Sunyi dari bibirmu, senyap melanda. Mengobrak-abrik kegelisahanku, menggantinya dengan satu genggaman diantara jemariku. Aroma dukunganmu begitu terasa, menopangku dengan semua kepercayaanmu padaku.
Maka sore itu dengan sisa-sisa senja kami menutupnya berdua. Berharap nanti masih ada keajaiban dicebisan usahaku, diujung tiap doaku, disimpul perjuanganku yang baru saja berdengung seiring peluit baru dikehidupanku yang meraung panjang.
Malam tengah gerimis, 11 Maret 2012
Langganan:
Postingan (Atom)