Sabtu, 25 Agustus 2012

Lost Memory


(23agustus2012.13:32) Disini, tepat diruangan ini dulu kita berdua bercanda. Sudut-sudut ruang tamu yang sekedarnya, debu-debu tipis terkejut atas kehadiranku. Suara manja kucing yang mengganggu, kursi yang masih belum berubah, sekedar aku yang tak sama. Berbeda sejak terakhir aku kemari, datang sekejap membawa tawa air mata. Yang suaranya masih meraung dibenakku, yang basahnya masih membekas samar menodai ketulusanmu dulu.

Aku benar-benar mengerti, kamu takkan bisa aku raih saat ini. Karena satu kesalahanku.Yang membuat semua pengertianmu menguap, menyisakan kantuk berat, membebani jiwaku.

Tolong, maafkan aku, meski maafmu hampir selalu kamu beri, diantara tiap permintaanku. Tapi tetap saja aku masih belum bisa memaafkan diriku sendiri. Diri yang kian tenggelam tiap kali memandangi pernak-pernik kenanganku bersamamu. Bahkan hingga tiap hujan, tiap gerimis, tiap senja, aku mengingatmu. Meski tak terucap, hanya terus men_tato perasaan dengan jarum-jarum tajam tak berbentuk, namun perihnya membuatku terjaga, waspada, liar mencakar rimba rasa

Pertemuan tadi begitu hambar, namun ibarat sajian dari seseorang yang teristimewa menjadikannya demikian tak terbatas. Meluap-luap mengguncang hati. Hanya sayang, kupastikan kamu memang pasti miliknya saat ini.

Layaknya pendusta, aku biarkan dirimu membohongiku dengan kemanisanmu. Membiarkan kepuasanmu mengerjaiku, hingga mencukupi gairah Lupin_mu, yang seolah mulai berbenalu, kian menggerogotimu.

Kadang, firasat mencolek nyenyak tidurku. Memberi isyarat memastikanmu masih dipunggungku, ada khusus untukku. Tapi hanya keyakinan menggugahku, berteriak bahwa kamu itu adalah wanita, makhluk yang penuh dengan tanda tanya, maka percuma jika mengandalkan keberuntungan untuk memilikimu. Sedangkan aku sekedar tanda seru, tegak bertitik. Kadang lelah berdiri, namun kodrat membuatku hanya bisa menandaimu dengan tandaku. Mempercayai kepercayaanku kepadamu, melemparkan harapan mengharapkanmu.

Maka teruskanlah mimpi-mimpimu memilikinya, aku bantu doa. Tapi tolong, jangan pernah berniat menghapus kenangan kita, apalagi berusaha melenyapkannya. Sebab itu semua percuma. Masa lalu bukanlah momok, yang ditakuti bocah-bocah tak berkompas, tapi malah lelucon dewasa yang meracau menggoda makhluk yang tak berpegangan.

(24agustus2012. 23:45) Untuk yang terakhir, sekali lagi kata-kata klise terlahir dari mulut ini. Seonggok harapan menghiasi ujung bibirku, menenangkanmu yang terisak dihadapanku. Masih hangat tangan ini digenggamanmu, masih terasa degupan nadimu di pembuluh darahku, masih jelas pantulan perihmu, dalam mataku. Terpatri mati, terukir permanen, tanpa tepi.

Hujaman waktu begitu keras, mencabik aku, membuatmu berderai duka. Kenapa harus kamu yang aku kecewakan,,,?

Gerhana melingkupi jawabannya, sebab ada yang menghalangi kita untuk terus bersama. Takdir benar-benar telah menggariskannya begitu, bergerigi diujung hubungan ini. Bukan main emosimu meracuni dinding terakhir ku. Mata ini tergenang, jutaan saraf kompak berteriak, vonis tangis telak meninjuku.

Gemulai penyesalan mengulurkan lengannya, menggapai-gapai arwah yang terlambat datang. Menyisakan satu kata, menyingkirkan ribuan fakta, rindu yang berkecambah dalam wadah duka.

Katamu, simalakama tersaingi dengan kondisiku, cemohan tak mampu menggodaku. Perangkap-perangkap gengsi luruh lantah menghabisi masa subur darah dalam rahim. Mungkin aku yang terlahir tercetak begini, untuk kamu hianati. Bahkan permohonan terakhirpun tak kau berikan, hanya palu mengakhiri semuanya. Menutup kasus kita.

Jawabku, berat menjalaninya. Bukan tak percaya, hanya kita semestinya bisa bertahan dengan kenyataan. Walaupun itu adalah reaksi dari aksi-aksi kita. Sebab segala hasil hanya buah dari ladang yang telah kita garap. Yang pahit, manis, subur, gersang sekedar bingkai panen.

Harusnya aku bisa bersabar, bukan menggeliat ditengah-tengah penggorengan yang mendidih. Bukan pula meniru banteng yang beringas terintimidasi kondisi. Meski tajamnya pedang matador menikamku, minimal aku masih punya beberapa nafas terakhir yang semestinya kugunakan membahagiakanmu. Meyakinkanmu bahwa semestinya aku yang berdiri menemanimu.

Ternyata rotasi semesta telak menertawakanku. Lengkungan elipsnya mengembalikanku kepadamu. Tepat satu putaran, dengan ditemani pusat bodongnya tatasurya, aku terbakar cemburu.

Bukan dia yang merangkul, tapi kamu yang memeluknya. Hingar bingar congkak mengalahkan hidung pinokio, memanjangkan batangnya. Batang hidungnya yang terlanjur maju dengan terpaksa, terdorong oleh dukunganmu tentunya.

Luka terjatuh bisa terobati dengan antiseptik, tapi darah ini bergejolak. Berdecak memuai layaknya resah yang tak menemukan media setara menjalankan ritualnya. Menitik acak didinding-dinding hati. Tinggal aku mungkin yang menelannya. Agar segera pingsan, dan berharap tersadar dalam papahanmu. Asal bukan saat-saat sebelum diriku terlempar dalam galian tanah bernisan, aku rela.

Aku yakin kamu tahu, aku masih menitipkan setengah hatiku padamu. Yang setengahnya lagi selalu ingin aku berikan. Agar melengkapi tubuhmu untuk menetralisir racun-racun disekitarku. Yang selalu menyerangku layaknya wabah, bergelora merangkak melewati system saraf, tanpa jeda, tanpa macet menuju otak. Memerintahkan menjauhimu.

Tapi aku bukan seonggok tubuh, aku berdiri dalam roh. Ada jiwa yang berperasaan, dan perasan ini kuat kepadamu. Menolehlah sejenak, lihat aku dicelah hidupmu. Memang jelas aku bukan bayanganmu, akupun sekedar timbul menyapa lalu hilang tersapu cuaca. Namun, jika beri aku waktu untuk tumbuh, tak segan diri ini mengakar, yang merobek tanah beratap udara bersahabat air, hingga menjadi tunggul tempat kamu menautkan tali mimpi-mimpimu.

Jangan pula kau siram aku dengan cacianmu, tanaman terkeraspun pasti layu ketika mataharinya menyinari terlampau panas. Cukuplah yang hangat menenangkannya, sekedar salju juga takapa, sebagai kerikil dalam fondasi, yang sendiri pasti menusuk kaki, namun beserta pasir malah mengokohkan bangunan yang nantinya berdiri.