Senin, 28 Mei 2012

Kisah Kita


Foreplay
Pilu temani aku yang bangkit dari kondisi tak sadar. Kuraih ponsel dan langsung ku telpon kekasihku nifta rieti yumi. Beberapa kali nada tunggu membayangi penantianku, maklumlah, sekarang pukul 2 pagi, tapi perasaan tak enak membuatku nekat. Maka kesekian kali akhirnya nada yang kunanti muncul
“hmm,,,?” gumaman kantuk menggumpal dari speaker
“kamu gpp..?” pertanyaan bodoh terlahir bagitu saja
Klik, telepon terputus. Aku tak kesal, karena lebih baik bagitu daripada tak ada respon darimu.
Kembali aku terdiam, tapi pikiranku benar-benar masih memikirkan peristiwa yang baru saja aku alami. Ah, cuman sekedar mimpi aku meyakinkan diri ini untuk tak berlebihan. Walau begitu, tetap saja aku terjaga hingga pagi.
Dalam perasaan ini kepadamu, hingga terasa selalu ada nafasmu dihidupku. Temani hari demi hari ku tanpa jenuh, hampir ganjil 3 tahun. Semuanya indah, tak ada sedikitpun ragu untuk selalu disisimu.
Jika aku tak terlalu angkuh, mungkin diri ini tak menyesali semuanya yang terjadi. Aku masih benar-benar tak habis pikir, begitu teganya diri ini meninggalkanmu disaat-saat dirimu telah dan sangat membutuhkan sosok yang bisa diandalkan. Tapi aku juga sedang gersang saat itu, aku sedang kehilangan kompas hidupku, aku sesaat rapuh terserang kelemahan sebagai manusia biasa. Andai kamu tak mengijinkanku untuk pergi, teguh terhadap diriku, mungkin aku takkan pernah menjadi makhluk terkelam dihidupmu Nifta...
Tapi, semuanya seakan merayap, jauh tertinggal mematahkan teori-teori waktu. Hari seakan tahunan kulewati, sosok yang kini menemaniku seakan-akan hanya bayangan pasif. Ada tanpa rasa, nyata tapi terasa sementara. Aku menghilang, tapi bukan selamanya. Karena masih banyak waktu untuk bertemu, masih banyak tempat yang takkan menghambat, maka pasti masih ada rasa antara kita.
Aku hanya perlu sekali saja menghabisi peluang terakhirku padamu, menikammu tepat disaat tertepat didalam historis kehidupanmu Rieti. Sama persis dan mutlak seimbang layaknya membayar  tunai sebuah kesalahanku padamu, yakni memutuskanmu Yumi. Maka, jangan pernah mengunci pintu hatimu. Tutuplah saja untuk sementara, sebab bisa saja aku datang disaat –saat terakhir. Sebagai tuan rumah, atau hanya sebagai tamu undanganmu.
Pasir-pasir pantai yang telah setia temani kita dahulu mungkin tak rela dengan keputusanku dulu, hingga seolah terkutuklah aku yang terlahir diatas bumi berpasir ini. Kadang aku terpaksa menambah pundi-pundi dosa disetiap detik, bahkan kadang berpangkatlah ia ketika aku mengingatmu.
Jujur, aku masih tak perduli dengan gunjingan mereka. Mereka tak pernah akan tau bagaimana kita dahulu, apalagi kini aku dan dirimu yang sama-sama berjuang dalam jalan berbeda namun hanya ingin bahagia dengan cara kita masing-masing.
Waktu-waktu kulewati bersamanya, yang pasti bukan dirimu. Hampir habis sisa waktuku yang diam-diam kamu lemparkan padaku. Maka, disaat-saat itu aku pasti akan berlari mengejarmu, membawa semua yang aku punya untuk menyuntingmu.
Ditiap jalan, siang malam aku pastikan tak berhenti. Karena dia juga takkan pernah berhenti berjuang untukmu. Yang pastinya hanya ada satu yang bisa menjadi pengantinmu.
Ribuan penghalangku mulai muncul dari balik kegelapan hutan, mengejarku dalam rimba perjuanganku. Tak banyak yang kupunya, hanya cukup untuk kita berdua. Maka tak ada lagi yang bisa kubagi dengan mereka yang mengejarku.
Ransel ku genggam erat dalam pelukan, maka ranting kayu keras ada ditangan-tanganku, sebagai pelindung diriku. Modalku hanya bisa berlari, terus mengikuti jalur-jalur kereta impianku padamu.
Sebuah terkaman nyaris menyambar leherku, benar-benar bisa berobek tenggorokanku. Aku tak bisa terus berlari, minimal akan kuberikan perlawanan pada penguasa hutan ini. Kuda-kuda kupasang, maka diterkaman berikutnya ia bergetar diatas tubuhku, berguling-guling diatas gemburnya tanah hitam sang hutan. Cakarnya yang lebih unggul menekan lengan dan pahaku, darah segar menguap, termakan ketakutanku. Tak habis akal, sebelum dirinya lebih agresif, tongkat kayu yang diantara taring-taringnya kutekan keatas, tercipta ruang antara kepala kami berdua. Hanya inilah kesempatanku, kaki-kaki panjangku menerjangnya. Hingga lepas sejenak dari ambang kematianku. Ancang-ancang, kembar kami bertarung dalam remang-remang. Antara hidup mati kami tak kenal menyerah, kupertaruhkan segalanya, semua yang ada didiriku, demikian juga dirinya. Kilatan menyambar, silau terjangan yang mungkin mengakhiri duel kami. Aku tersentak, ia lebih tangguh dari diriku, juga lebih unggul dalam lingkungannya. Aku kalah,,,
Sadar hanya akan konyol jika masih kupaksakan, maka ku menghindar, antara dahan-dahan rimbun aku menyelinap, sisa-sisa merah darah menetesi jalanku, bersama perih kekalahanku.
Segenap tenaga kuberjuang menyelamatkan diri, setidaknya aku masih punya nyawa untuk mencoba kembali meski harus mencari jalan lain menuju impianku. Memutar otak memeras neuron-neuron yang berguncang dalam kepalaku, yang tak pernah tidur, yang tetap terjaga ditiap sel-selnya.

Maincourse
Tak bisa kupungkiri, butuh waktu lama untuk bisa bangkit setelah keterpurukanku. Disudut gua-gua bukit hidupku aku tinggal, bersama semua yang kupunya. Hanya bulan yang bisa kuhitung, ratusan purnama bundar menerangi tiap 15 hari kegelisahanku. Hingga satu senja, aku menemukannya. Terdiam diufuk danau, berkecipak ditepian batu, memainkan air yang jernih sekedarnya. Diam kudekati, sunyi percakapan, hingga tercipta chemistry alami antara kami. Kucumbui waktu bersamanya, memupuk rindu yang mengerucut, tajam membuat lubang-lubang kasih yang selalu kurindukan, aku melupakanmu.
Tenggelam dalam kenyamananku, kujelajahi dunia. Menemukan tempat-tempat yang hilang. Menapaki gunung-gunung keabadian, melompati lembah-lembah terjal, mengikat rakit bermain antara sungai-sungai yang mengalir, aku jatuh hati dengannya.
Kupanggil ia “senjaku”, oranye warnanya. Temani tiap surga duniaku, merangkulku erat-erat. Angin saksinya, sahabat sepanjang perjalanan hidupku, yang selalu mengabari kabarmu, menyampaikan salam bahagia, yang menandakan telah haram kamu kudekati.
Maka berakhirlah semua antara kita, hanya menyisakan dia. “Dia” milikku dan “dia” milikmu. Sosok yang akan menemani kita bahagia dalam porsinya masing-masing, menghadirkan hidangan terbaik yang dimilikinya, menyajikannya untuk kita.

Coolingdown
Masih bersamanya, aku tak jenuh mengelilingi bumi, menginap antara sore, beratap bintang. Hingga kutemukan garis melengkung, tercipta diatas tanah buram. Kudekati, hangat atmosfernya. Satu langkah kumasuki wilayah yang baru kali ini kujumpa, seketika lingkunganku bergejolak, berubah menjadi abu-abu, hitam putih, mid dalam range warna.  
Sekelibat bayanganmu muncul, tanpa rasa aku yakin inilah istanamu, bersama sang pangeran dikehidupanmu. Membuat lingkaran melingkari kediamanmu, dirinya melindungimu. Dari jari manis hingga ujung nafasmu, mengikat sumbu abadi. Siap menyala, lebih terang dari pecahan bintang, lebih hangat dari bara, selalu membakar dengan senyumanmu sebagai pemicunya.
Hanya sekedar tahu, turut bahagia bersamanya. Aku mundur, kembali dalam duniaku bersama senjaku. Aku pun telah temukan bagian hari-hariku, ditiap ujung waktu ia setia bersamaku. Layaknya dirinya terhadap dirimu, mungkin begitulah.
Mungkin akan kulanjutkan kisah ini saat aku siap, siap menerima lompatan-lompatan imajinasiku. Lalu menulisnya dalam kisah kita semua.

Akhir malam menjelang 28 Mei 2012

Tidak ada komentar: