(23agustus2012.13:32) Disini, tepat diruangan ini
dulu kita berdua bercanda. Sudut-sudut ruang tamu yang sekedarnya, debu-debu
tipis terkejut atas kehadiranku. Suara manja kucing yang mengganggu, kursi yang
masih belum berubah, sekedar aku yang tak sama. Berbeda sejak terakhir aku
kemari, datang sekejap membawa tawa air mata. Yang suaranya masih meraung
dibenakku, yang basahnya masih membekas samar menodai ketulusanmu dulu.
Aku benar-benar mengerti, kamu takkan bisa aku
raih saat ini. Karena satu kesalahanku.Yang membuat semua pengertianmu menguap,
menyisakan kantuk berat, membebani jiwaku.
Tolong, maafkan aku, meski maafmu hampir selalu
kamu beri, diantara tiap permintaanku. Tapi tetap saja aku masih belum bisa
memaafkan diriku sendiri. Diri yang kian tenggelam tiap kali memandangi
pernak-pernik kenanganku bersamamu. Bahkan hingga tiap hujan, tiap gerimis,
tiap senja, aku mengingatmu. Meski tak terucap, hanya terus men_tato perasaan
dengan jarum-jarum tajam tak berbentuk, namun perihnya membuatku terjaga,
waspada, liar mencakar rimba rasa
Pertemuan tadi begitu hambar, namun ibarat sajian
dari seseorang yang teristimewa menjadikannya demikian tak terbatas.
Meluap-luap mengguncang hati. Hanya sayang, kupastikan kamu memang pasti
miliknya saat ini.
Layaknya pendusta, aku biarkan dirimu membohongiku
dengan kemanisanmu. Membiarkan kepuasanmu mengerjaiku, hingga mencukupi gairah
Lupin_mu, yang seolah mulai berbenalu, kian menggerogotimu.
Kadang, firasat mencolek nyenyak tidurku. Memberi
isyarat memastikanmu masih dipunggungku, ada khusus untukku. Tapi hanya
keyakinan menggugahku, berteriak bahwa kamu itu adalah wanita, makhluk yang
penuh dengan tanda tanya, maka percuma jika mengandalkan keberuntungan untuk
memilikimu. Sedangkan aku sekedar tanda seru, tegak bertitik. Kadang lelah
berdiri, namun kodrat membuatku hanya bisa menandaimu dengan tandaku.
Mempercayai kepercayaanku kepadamu, melemparkan harapan mengharapkanmu.
Maka teruskanlah mimpi-mimpimu memilikinya, aku
bantu doa. Tapi tolong, jangan pernah berniat menghapus kenangan kita, apalagi
berusaha melenyapkannya. Sebab itu semua percuma. Masa lalu bukanlah momok,
yang ditakuti bocah-bocah tak berkompas, tapi malah lelucon dewasa yang meracau
menggoda makhluk yang tak berpegangan.
(24agustus2012. 23:45) Untuk yang terakhir, sekali
lagi kata-kata klise terlahir dari mulut ini. Seonggok harapan menghiasi ujung bibirku,
menenangkanmu yang terisak dihadapanku. Masih hangat tangan ini digenggamanmu,
masih terasa degupan nadimu di pembuluh darahku, masih jelas pantulan perihmu,
dalam mataku. Terpatri mati, terukir permanen, tanpa tepi.
Hujaman waktu begitu keras, mencabik aku,
membuatmu berderai duka. Kenapa harus kamu yang aku kecewakan,,,?
Gerhana melingkupi jawabannya, sebab ada yang
menghalangi kita untuk terus bersama. Takdir benar-benar telah menggariskannya
begitu, bergerigi diujung hubungan ini. Bukan main emosimu meracuni dinding
terakhir ku. Mata ini tergenang, jutaan saraf kompak berteriak, vonis tangis
telak meninjuku.
Gemulai penyesalan mengulurkan lengannya,
menggapai-gapai arwah yang terlambat datang. Menyisakan satu kata,
menyingkirkan ribuan fakta, rindu yang berkecambah dalam wadah duka.
Katamu, simalakama tersaingi dengan kondisiku,
cemohan tak mampu menggodaku. Perangkap-perangkap gengsi luruh lantah
menghabisi masa subur darah dalam rahim. Mungkin aku yang terlahir tercetak
begini, untuk kamu hianati. Bahkan permohonan terakhirpun tak kau berikan,
hanya palu mengakhiri semuanya. Menutup kasus kita.
Jawabku, berat menjalaninya. Bukan tak percaya,
hanya kita semestinya bisa bertahan dengan kenyataan. Walaupun itu adalah
reaksi dari aksi-aksi kita. Sebab segala hasil hanya buah dari ladang yang
telah kita garap. Yang pahit, manis, subur, gersang sekedar bingkai panen.
Harusnya aku bisa bersabar, bukan menggeliat
ditengah-tengah penggorengan yang mendidih. Bukan pula meniru banteng yang
beringas terintimidasi kondisi. Meski tajamnya pedang matador menikamku,
minimal aku masih punya beberapa nafas terakhir yang semestinya kugunakan
membahagiakanmu. Meyakinkanmu bahwa semestinya aku yang berdiri menemanimu.
Ternyata rotasi semesta telak menertawakanku.
Lengkungan elipsnya mengembalikanku kepadamu. Tepat satu putaran, dengan
ditemani pusat bodongnya tatasurya, aku terbakar cemburu.
Bukan dia yang merangkul, tapi kamu yang
memeluknya. Hingar bingar congkak mengalahkan hidung pinokio, memanjangkan
batangnya. Batang hidungnya yang terlanjur maju dengan terpaksa, terdorong oleh
dukunganmu tentunya.
Luka terjatuh bisa terobati dengan antiseptik,
tapi darah ini bergejolak. Berdecak memuai layaknya resah yang tak menemukan
media setara menjalankan ritualnya. Menitik acak didinding-dinding hati.
Tinggal aku mungkin yang menelannya. Agar segera pingsan, dan berharap tersadar
dalam papahanmu. Asal bukan saat-saat sebelum diriku terlempar dalam galian
tanah bernisan, aku rela.
Aku yakin kamu tahu, aku masih menitipkan setengah
hatiku padamu. Yang setengahnya lagi selalu ingin aku berikan. Agar melengkapi
tubuhmu untuk menetralisir racun-racun disekitarku. Yang selalu menyerangku
layaknya wabah, bergelora merangkak melewati system saraf, tanpa jeda, tanpa
macet menuju otak. Memerintahkan menjauhimu.
Tapi aku bukan seonggok tubuh, aku berdiri dalam
roh. Ada jiwa yang berperasaan, dan perasan ini kuat kepadamu. Menolehlah
sejenak, lihat aku dicelah hidupmu. Memang jelas aku bukan bayanganmu, akupun
sekedar timbul menyapa lalu hilang tersapu cuaca. Namun, jika beri aku waktu
untuk tumbuh, tak segan diri ini mengakar, yang merobek tanah beratap udara
bersahabat air, hingga menjadi tunggul tempat kamu menautkan tali
mimpi-mimpimu.
Jangan pula kau siram aku dengan cacianmu, tanaman
terkeraspun pasti layu ketika mataharinya menyinari terlampau panas. Cukuplah
yang hangat menenangkannya, sekedar salju juga takapa, sebagai kerikil dalam
fondasi, yang sendiri pasti menusuk kaki, namun beserta pasir malah mengokohkan
bangunan yang nantinya berdiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar