Sabtu, 24 Maret 2012

Senja Ku

Sebelumnya sudah puas aku lewati perasaan seperti ini, muak dengan keadaan yang sedikitpun tak beranjak, diam diantara himpitan kenyataan , lelah dengan keputusan yang tepat terlontar dari semua perusahaan tempatku bekerja. 

Kokok ayam bersahutan, gagah temberang, saling adu lolongan terpanjang, tak pernah terganggu pejantan-pejantan yang lain, juga angkuh dan seolah enggan perduli keluh kesahku. 

Sekali jalan, mandi dan muncullah aku , didepan kamar kost yang tak teratur, tak kukunci pintu, kutinggalkan begitu, karena tak ada benda berharga, yang tersisa hanya jenuh tak berongga, sakau yang tak berbayang. 

Karena hari ini, ada gaji terakhir untuk penyambung isi perut yang harus cepat ku ambil, malam nanti ada lintah-lintah yang juga telah tak sabar ingin menikmatinya. Enggan kuakui, tapi begitulah kenyataannya. Malu tak lagi berbenalu diotakku, yang kurasa hanya ada tekad untuk terus berjalan, agar dia bisa kumiliki. Diujung kota, disudut gang, antara pipa-pipa aku yakin dia setia menantiku. Menunggu aku yang bahkan bukan siapa-siapa baginya, hanya percaya dan seonggok rasa antara jantung dan empedu didadanya membuatku masih bisa berjuang. 

“Andi..!!!” 
Aku berlari antara puluhan pria-pria tak berkompas, hanya bermodal angin, acak melangkah, hingga rayap-rayap usia memangsa para sendi-sendi tubuh kami yang akan menghentikan nafas dan usaha ini. 

Amplop setipis silet kugenggam, tajam paraf seadanya kugores didaftar serah terima. 
Seperti debu aku berhembus, menembus kerumunan-kerumunan penunggu sepertiku. Erat jemari memastikan amplop ini tetap didekat tubuhku. Ada senyum luka dihati, tanpa alibi aku pastikan detik ini resmi sudah “plat” pengangguran terpasung dimata kaki. Berat walau tak kasat mata, hanya massa jenis imajinasinya yang membebaniku melangkah. 

Kuambil rute memutar, meninggalkan sisa-sisa aroma kekecewaan, melintasi bibir buih pantai, bermimpi anginnya bisa sedikit membuang kesialanku. Meski sisi-sisi langit begitu indahnya akrab memeluk laut, aku tak mampu tersenyum. Alunan daun-daun kelapa gemulai mengikuti spektrum burung elang yang vertikal menghujam mangsanya, tangguh memutar kembali mengintai mengitari targetnya. 

Usang keinginan untuk pulang, merangkak harapanku, bahkan terbersit keinginan untuk merayap menuju kamarku. Biarlah kuhabiskan usiaku diperjalanan ini, agar habis semua masa hidupku, hingga hanya Izrail yang sabar menantiku. 

Ujung sepatu kulit yang tak pernah tersentuh perawatan ada di pupil-pupil mata, aku hanya menunduk sepanjang perjalanan kembali. Satu suara melambungkanku, saat satu sosok diseberang pagar pemecah ombak melambai kearahku. 

“Sayang..!!!” tangannya mengajakku mendekat 

“Ngapain disini..?” tanyaku terlontar diantara puluhan pasang mata yang mungkin tak habis pikir apa yang mereka dengar tadi. Sebuah tubuh tarbalut kain suci memanggil seorang pria lusuh dijalanan 

“Nungguin kamu pulang…” Jawabnya singkat, sekaligus mengarahkanku duduk disampingnya. 

Biru laut berkilau, bergelombang bergejolak dalam dada. Milyaran angan dan harapan rasanya kini ada dipundakku. Bukan berat yang kukuatirkan, namun apa aku mampu membuatmu bertahan dengan semua keadaanku. 
Sunyi dari bibirmu, senyap melanda. Mengobrak-abrik kegelisahanku, menggantinya dengan satu genggaman diantara jemariku. Aroma dukunganmu begitu terasa, menopangku dengan semua kepercayaanmu padaku. 

Maka sore itu dengan sisa-sisa senja kami menutupnya berdua. Berharap nanti masih ada keajaiban dicebisan usahaku, diujung tiap doaku, disimpul perjuanganku yang baru saja berdengung seiring peluit baru dikehidupanku yang meraung panjang. 
Malam tengah gerimis, 11 Maret 2012

Tidak ada komentar: